Gara-Gara Maskeran
Genduk Nicole mengikuti salat Iduladha di masjid kampungnya di Weru, Sukoharjo. Seperti Idulfitri kemarin, karena pandemi Covid-19 belum mereda, jamaah salat Ied wajib menggunakan masker, di samping juga harus patuh protokol kesehatan lainnya: wudu dari rumah, bawa alas salat sendiri, dan ada pengecekan suhu tubuh di pintu masuk halaman masjid.
Sesampai di masjid, Nicole melihat sudah banyak jamaah yang datang. Saf putri juga sudah nyaris penuh. Saat ia lingak-linguk mencari tempat, seseorang memanggilnya dengan melambaikan tangan dan menunjuk bahwa di dekatnya ada tempat kosong. Tanpa pikir panjang, Nicole mendekat ke arah perempuan itu meski ia kesusahan mengenalinya lantaran mengenakan masker.
Sampai di dekat perempuan itu, Nicole mendengarnya mempersilakan, tapi tak begitu jelas karena dari pengeras suara masjid terlantun bacaan takbir dari jamaah bapak-bapak di saf dekat imam. “Mangga, sini saja, masih longgar,” kata perempuan itu.
“Inggih, matur nuwun.” Nicole menjawab dengan bahasa Jawa halus, takut kalau yang menawarinya orang tua. Ia sama sekali tak bisa mendeteksi wajah yang hanya kelihatan bagian matanya saja itu.
Sampai salat Iduladha dan khotbahnya selesai, Nicole masih belum tahu siapa perempuan di sampingnya itu. Akhirnya tiba saat pulang, perempuan itu berkata, “Bareng siapa tadi berangkatnya?” dan sialnya, Nicole belum juga bisa menebak pemilik suara.
Maka Nicole menjawab dengan bahasa halus lagi. “Kula piyambakan, kok. Wau Ibuk kalih Bapak sampun tindhak rumiyin,” kata Nicole mengatakan ia datang sendiri karena orang tuanya sudah duluan.
“Dari tadi kok kamu bahasanya halus begitu, kamu pangling sama aku?” tanya si perempuan sambil menurunkan masker yang menutup sebagian wajahnya agar Nicole mengenalinya.
Seketika Nicole mengenali perempuan itu. Dia seorang tetangga beda RT, dari segi usia memang lebih tua, tapi sebelum-sebelumnya ia tak pernah menggunakan bahasa Jawa halus kalau berbincang dengannya. “Saya kira siapa, Mbak, wong maskeran begitu, susah mengenalinya.”
Perempuan itu tertawa. Lalu ia bercanda, “Apa menurutmu juga aku sekarang jadi gendutan daripada sebelum ada corona? Tapi memang iya sih, bobotku naik drastis gara-gara di rumah kebanyakan tidur dan tidak ke mana-mana. Bawaanya juga ngemil melulu,” katanya bercerita tanpa ditanya. Ia memang terkenal ceriwis.
Mereka berjalan beriringan menuju ke luar area masjid. Nicole lebih banyak mendengarkan perkataan si perempuan dan hanya menjawab seperlunya saja. Hingga tiba di perempatan, Nicole berbelok ke timur dan perempuan itu menuju arah barat karena rumah mereka memang tak lagi searah.
Baru dua langkah Nicole berjalan, perempuan itu berseru ke arahnya, “Lho, kok kamu ke timur, mau ke mana? Nggak langsung pulang?”
Nicole agak heran dengan pertanyaan itu. “Lha rumah saya sana, Mbak,” kata Nicole sambil menunjuk ke timur.
“Tunggu, tunggu, kamu bukan Lady Cempluk, ta? Jangan-jangan aku salah orang?” si perempuan mendadak curiga.
“Aku Nicole, Mbak.” Genduk Nicole lekas menurunkan maskernya juga. Dan perempuan itu akhirnya heboh sendiri.
“Ya Allah, dari tadi kupikir kamu Lady Cempluk tetangga depan rumahku. Jebul kamu Genduk Nicole. Badala, tiwas dari tadi aku ngomong ngalor-ngidul.”
Mau tidak mau, Genduk Nicole ikut tertawa melihat tingkah perempuan itu. “Saya kira cuma saya yang pangling Mbak pakai masker. Jebul jenengan lebih parah, saya Nicole bukan Lady Cempluk.”
Dan jamaah yang jalan dekat mereka ikut tertawa menyaksikan kejadian lucu itu. Ada-ada saja, gara-gara masker nih!
*) Versi asli yang saya kirim ke Solopos. Dimuat di rubrik Ah Tenane pada 19 Agustus 2020
Get notifications from this blog
Jangan lupa beri komentar, ya... Semoga jadi ajang silaturahim kita.