Belajar Tekun bersama Yus R. Ismail
Siapa yang tak kenal Yus R. Ismail di dunia kepenulisan? Penulis kelahiran Rancakalong, Sumedang, Jawa Barat, ini sangat produktif. Selain banyak menerbitkan buku, cerpen-cerpennya pun banyak bertebaran di media. Sebut saja Pikiran Rakyat, Suara Karya, Suara Pembaruan, Media Indonesia, Republika, Kompas, Koran Tempo, Nova, Citra, Annida, Matra, Horison, dan banyak lagi, yang pernah memuat buah karyanya.
Saya cukup beruntung saat berkesempatan ikut diskusi daring dalam sebuah grup WhatsApp dengan Yus R. Ismail yang tak keberatan membagikan kiat menembus koran dan media lainnya. Diskusi yang diinisiasi Komala Sutha yang juga penulis produktif berdarah Sunda ini, terselenggara pada 5 Agustus 2020 sekira pukul 19.30 WIB selama lebih dari 1 jam.
Hadir dalam diskusi ini, penulis dari berbagai daerah. Sebutlah mereka: Pangerang P. Muda, Imam Fawaid, Reni Asih W, Mhd. Irfan, R. Amalia, Rilen Dicki Agustin, Negara Rofiq, Ayis A. Navis, Joe Papua, Nina Rahayu Nadea, Ahmad Zul Hilmi, Elli Rusli, dan Gandi Sugandi.
Diskusi dimulai dengan kiat memahami karakter media sehingga tulisan kita dapat dengan mudah diterima atau dimuat. Yus R. Ismail terbiasa baca-baca cerpen di media itu. Kalau ada aturannya ditaati. Misalnya aturan di Tribun Jabar yang menerima cerpen tidak lebih dari 8000 karakter. Atau di Kedaulatan Rakyat yang hanya 5000 karakter. Itu kebijakan Redaksi yang tidak boleh dilanggar kalau ingin dimuat.
Lantas, tulisan seperti apa yang dilirik oleh media? Pertama, kebutuhan media mengenai tema. Kalau Femina pastinya temanya wanita dan permasalahannya. Media juga memilih berdasar kesesuaian panjang-pendek naskah terkait ketersediaan tempat di media itu. Kita harus menyesuaikan. Pelajari satu-satu medianya. Sekarang ini banyak cerpen yang sudah diterbitkan media bisa kita baca seperti di Lakon Hidup misalnya.
Yus R. Ismail mengatakan bahwa ia sebenarnya lebih perhatian kepada “Cerpen yang akan ditulis”. Jadi misalnya kita menargetkan satu hari satu cerpen. Biasanya ia malam sebelum tidur baca-baca dulu cerpen, puisi, karya orang lain. Berhenti di cerpen yang disukai. Suka apanya saja, baik gaya bercerita, kejutan akhir, dan sebagainya. Dari cerpen itu kita harus dapat cerita baru. Tapi tentu saja ini beda dengan plagiat.
Redaktur adalah penjaga gawang media, jadi wajar jika seleranya jadi prioritas tulisan yang dimuat. Tapi pastinya Redaktur punya wawasan mengenai selera dia yakni cerpen baik pada umumnya.
Semua media sepertinya terbuka bagi penulis baru. Jadi tinggal kita pasang target, sambil belajar, kirim semua media setiap bulan minimal satu cerpen. Tunggu saja nanti juga pasti ada kejutan. Tapi memang harus dipelajari medianya. Seperti tadi, panjang-pendek naskah, dan tema.
Menurut Yus R. Ismail, nama-nama penulis senior pastinya ada prioritas. Tapi ia mengingatkan bahwa penulis senior pun awalnya juga junior. Mereka juga mengawali. Kalau cerpen kita belum tembus-tembus, tetap kirim saja terus. Yus R. Ismail tidak lagi merasa surprise bila dimuat suatu media, karena perhatiannya memang semakin ke “cerpen yang ditulis”. Setelah selesai baru “disesuaikan” mau dikirim ke media yang mana. Bila tidak dimuat, “disesuaikan” lagi untuk dikirim ke media lain. Terus saja begitu. Kalau ingin nanti banyak kejutan, ia menyarankan mengirim 30 cerpen dalam sebulan. Kalau meleset hanya 20 naskah, itu kan sudah hebat, katanya.
Soal cerpen dengan tema lokalitas daerah, selain berpotensi dimuat di koran daerah tersebut, juga memungkinkan dimuat oleh media yang notabene dari daerah lain. Misal mau mengangkat lokalitas Madura, dikirimnya ke media Padang Ekspres. Yus R. Ismail mengaku juga lebih banyak menceritakan lokalitas Sunda, dan banyak juga yang tembus di Padang Ekspres, Lampung Pos, Sulawesi Tenggara. Penting untuk mencoba mengirim. Kalau tidak dimuat 3 bulan, kita tinggal belokkan ke media lain.
Kemudian muncul pertanyaan, apakah relasi penulis dengan redaktur bisa membuat penyeleksian karya yang kita kirim ke media tertentu cepat diperiksa di meja Redaksi? Menurut Yus R. Ismail, hal itu bisa jadi ada. Tapi yang paling utama: Kita mengirim naskah terus. Ia mengakui kebanyakan hanya tahu nama redaktur-redaktur media. Yus R. Ismail juga bersahabat dengan redaktur Tribun Jabar dan Pikiran Rakyat, tapi banyak cerpennya yang tidak dimuat di media tersebut. Terlebih untuk pengiriman naskah ia tetap mengirim lewat jalur redaksi, bukan ke pribadi sahabatnya itu. Kalau ketemu, ia pun tidak pernah mengobrolkan naskah. Hal ini biar redaktur enjoy juga, kalau mau menolak naskah dari sahabatnya pun tidak segan. Selain itu, Yus tidak kenal sama sekali dengan redaktur Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Media Indonesia, Republika, dan lainnya, tapi bisa dimuat di sana.
Faktor lain yang cukup menentukan sebenarnya adalah keberuntungan, naskah kita dianggap bagus, cocok, naskah lain tidak berkenan di hati redaktur, dan sebagainya. Makanya, paling penting bila kita ingin dimuat suatu media adalah dengan mengirimnya. Tidak dimuat, kirim lagi saja. Bandel saja kita kirim terus. Berjuang terus. Akan tiba saatnya naskah kita dimuat, bahkan dimuat lagi dan lagi.
Yus R. Ismail juga mengingatkan agar penulis tetap harus belajar. Cerpen yang dimuat Koran Tempo itu seperti apa dan mengapa susah nembus. Kita harus baca cerpen2 yang dimuat di sana... Trik tadi itu, baca dan berhenti di cerpen yang kita suka, lalu berimajinasi deh sampai ketemu cerpen kita dan tuliskan.
Ia menyarankan para penulis untuk pasang target pribadi. Kalau Yus sendiri, dulu langsung menarget tinggi. Setiap hari harus menulis cerpen. Baca-baca malam, eksekusi bada subuh. Terus saja begitu. Meski tidak melulu tercapai, tapi sebulan bisa 10, apalagi 20, itu juga luar biasa. Kirim ke media, targetkan 30 cerpen sebulan.
Awalnya Yus memang menulis bertiga, yakni bersama istri dan anaknya. Tapi sepertinya sekarang sudah beda jurusan masing-masinh. Yus sendiri memilih bercerpen sastra, sang istri asyik di buku anak, dan si anak malah pilih nge-youtube.
Kemudian untuk merotasi tulisan, biasanya 3 bulan tidak dimuat ia akan kirim ke media lain. Kecuali media tertentu semisal kompas.id yang lebih panjang masa tunggunya sampai 6-7 bulan. Untuk prioritas pilihan media, Yus memilih yang honornya lebih besar dulu, jika tidak dimuat, kirim ke media berikutnya, sesuai honor. Meski tak semua harus begitu.
Yus R. Ismail dalam menulis cerpen banyak yang selesai sekali duduk. Sebelum menulis, jalan cerita harus sudah selesai di kepala. Kalau belum selesai, maksa juga sampai selesai. Kecuali bila menyerah, ya sering juga yang bersambung kemudian.
Ia juga menyarankan selain menulis karya berbahasa Indonesia, sebaiknya juga menulis dalam bahasa ibu. Terutama yang orang Jawa, banyak media berbahasa Jawa. Menulis di dua bahasa, medianya tentu jadi banyak. Di Sunda juga ada carpon.
Trik yang bisa dicoba adalah menerjemahkan cerpen bahasa Indonesia ke bahasa daerah dan sebaliknya. Tidak ada larangannya. Orang lain dapat proyek, bayarannya mahal, kita punya proyek pribadi dalam rangka memperluas pembaca saja.
Bagi penulis, sifat pemalas harus dihilangkan. Nikmati saja, senangi. Baca cerpen orang lain, berhenti pada yang kita suka, dan berimajinasi. Jangan malas lagi. Belum ketemu ide, baca lagi cerpen, berhenti pada cerpen yang suka, dan paksa itu otak untuk dapat plot. Saat nulis baru pake hati.
Demikian diskusi seru bersama Yus R. Ismail. Semoga mampu memotivasi siapa saja yang ingin menekuni dunia kepenulisan. Tidak ada yang instan, semua berproses dengan perjuangan. Selamat berjuang!
Get notifications from this blog
Yak tul! Mie instan pun butuh proses untuk bisa dinikmati.
BalasHapusSukses instan itu cuma ada sama MLM wkwkwkwkwkwkwk
Tuh kan, jadi pengen mie instan.
HapusMemang perlu konsisten membaca dan konsisten menulis ya
BalasHapusYuhu.... :)
Hapus