√ Ngobrol Cernak dan Cerma bersama Gita FU - Halaman Rumah Syamsa

Ngobrol Cernak dan Cerma bersama Gita FU


Kelas Fiksi komunitas One Day One Post (ODOP) batch 7 kedatangan penulis tamu, yakni Mbak Gita FU. Tepatnya pada hari Sabtu, 7 Desember 2019 pagi, jam 08.00 WIB.

"Perkenalkan saya Gita FU, kelahiran Pontianak tahun 1981. Saya ibu dari tiga anak, saat ini mukim di Cilacap," kata Mbak Gita memperkenalkan diri.

Memulai obrolan, Mbak Gita mengenang masa awal mula menulis untuk media, yakni pada tahun 2006, saat mengirim cerita anak (cernak) ke majalah Bobo. Setelah pemuatan perdana tersebut ternyata ia harus vakum cukup lama, karena menikah, lalu punya anak, dan alasan-alasan lainnya.

"Tahun 2015 menjadi awal kembalinya saya ke dunia menulis. Kemudian tahun 2016 Alhamdulillah karya-karya saya mulai tayang di media cetak, digital, dan buku-buku Antologi," kenangnya penuh semangat.

Saat ditanya tentang tema dalam cernak apakah harus ringan, karena mengingat segmen pembacanya anak-anak, ia menjawab bahwa tema tidak harus ringan. Contoh, bisa saja tema yang diangkat ialah soal perceraian orang tua, pem-bully-an, bahkan LGBT.  "Namun dalam menuangkannya harus tepat sesuai porsi. Jika dalam cernak, maka sampaikanlah sesuai bahasa yang mudah dipahami anak-anak. Begitu pun jika untuk cerma (cerita remaja)," tegasnya.

Lantas Mbak Gita menyampaikan soal media, baik cetak maupun daring, yang menampung cernak dan cerma. Ia menyayangkan, saat ini jumlahnya telah menyusut drastis bahkan banyak yang telah tutup. "Dulu media terkenal penampung cerma ada:  Story, Aneka Yess, Gadis, Hai, Annida, Go Girl Magz, dan Minggu Pagi. Kini kesemuanya sudah tinggal kenangan," ungkapnya sedih.

Untuk cernak, katanya, dulu (hingga tahun 2018) bahkan banyak media cetak lokal yang menyediakan rubriknya. Kini sisa beberapa saja. Bahkan Majalah Bobo yang terkenal itu pun telah membatasi diri. Dan terkait honor cernak, berkisar pada angka 60-250 ribu.

Soal hilangnya media-media itu, banyak faktor yang saling terkait. Utamanya oplah media cetak telah menurun, banyak pelanggan beralih ke media digital. Tentu saja agar mereka bisa bertahan hidup, perampingan biasanya harus dilakukan. Maka dihilangkanlah rubrik-rubrik cerita itu, karena juga dipandang membebani finansial. Sebab lainnya, boleh jadi karena minat baca menurun akibat gawai.

Mbak Gita lantas melanjutkan perihal teknis menulis cernak. Ada syarat yang harus diperhatikan saat menulis cerita untuk anak. Pertama, pengolahan konflik: libatkan anak-anak baik sebagai pelaku, maupun yang memecahkan masalah. Kedua, bahasa: tentulah sederhana, gunakan kalimat-kalimat pendek. Ketiga alur, gunakan alur tunggal. Dan terakhir, sisipkan pesan moral. Cerita tentang anak, bisa diolah sebagai cerpen. Pengolahan kata, konflik, alur, tentu lebih bebas.

Bagi Mbak Gita, bagian paling sulit dalam menulis cernak dan cerma itu ialah menyajikan konflik dengan gaya bahasa untuk anak-anak maupun remaja. "Karena saya kan sudah berumur," celetuknya.

Dalam menyusun cerita anak, ada range usia pula yang harus diperhatikan. Misal range usia PAUD tentu konfliknya yang sederhana; rebutan mainan, pembagian tugas, olok-olok nama. Ada lagi range usia SD, di mana mereka sudah bisa diajak berlogika. Anak balita atau anak usia PAUD biasanya masih membutuhkan campur tangan orang dewasa untuk menyelesaikan konflik.

Cara mengemas ide yang sederhana menjadi menarik adalah dengan pengolahan diksi yang tepat, penokohan yang menarik, serta alur cerita yang mengalir. Jangan lupakan, beri unsur kejutan dalam cerita. Cerita anak itu tokohnya bisa berwujud siapa dan apa saja. Misal: peri berambut merah, sepatu tua yang lama diabaikan. Intinya, bisa dongeng, fantasi dan mitos-mitos.

Selanjutnya, membedakan cerma dengan young adult. Apakah harus ada bahasa gaul dan bertema percintaan serta tokohnya harus anak remaja? "Mari kita tentukan dulu range usia remaja dan young adult ini. Disebut remaja untuk anak usia 13-18 tahun. Sedangkan young adult saya kira untuk usia 19-24 tahun. Koreksi jika saya keliru," lanjutnya. "Dari situ saja kita sudah bisa mengamati perbedaannya bukan? Baik soal konflik yang dihadapi, karakter tokoh, hingga penyelesaian masalah."

Soal penggunaan bahasa gaul dalam cerma, Mbak Gita memilih mengutip pendapat seorang mantan Redaktur Majalah Gadis. "Kurang lebih beliau pernah menyampaikan, gunakan selalu bahasa baku dalam narasi cerita remajamu. Itu akan membantu ceritamu bertahan melewati zaman yang berganti. Jika ingin menggunakan bahasa gaul, pakailah hanya di bagian percakapan."

Dalam cernak maupun cerma pasti sarat pesan moral. Bagaimana caranya kita menyisipkan pesan moral tanpa ada kesan menggurui? "Sebelum menjawab ini, mari tanya balik ke diri sendiri, dengan jalan bagaimana saya ingin diberi pencerahan oleh cerita yang saya baca? Sudah ketemu jawabannya? Kalau saya sendiri tidak suka digurui secara terang-terangan. Saya lebih suka mendapatkannya lewat dialog yang mengalir, ending yang solutif," kata Mbak Gita.

Jadi yang terbaik, sisipan pesan moral tidak secara gamblang dikemukakan. Tapi, kebanyakan media menginginkan sebaliknya--khusus cerita anak. Dalam hal ini, kita harus paham juga selera media yang kita tuju.

Menulis cernak juga harus totalitas. Jika kita hendak mengambil tema anak berkebutuhan khusus (ABK) misalnya, sebaiknya si penulis membekali diri dengan riset, sehingga fakta yang dimasukkan betul-betul nyata. Di luar itu, teknisnya sama dengan menyusun cerita anak lainnya. Karena persoalan ABK di sini kan hanya masalah tema. Dan jika menggunakan sudut pandang anak, tentu harus disesuaikan dengan usia anak yang sedang bertutur itu.

Mbak Gita kemudian memberikan referensi bacaan cernak dan cerma. "Untuk penulis cerita anak dan remaja dalam negeri, banyak ya contohnya. Misal: Agnes Bemoe, Dian Onassis, Dian Kristiani, Clara Ng, Ruwi Meita, Ary Nilandari, Hairi Yanti, dkk. Kalau penulis luar misalnya: Roald Dahl, Kate Dicamillo, Cornelia Funke," katanya. "Saat ini yang terpikir oleh saya adalah novel anak terbaru Hairi Yanti berjudul Terima Kasih Allah, terbitan Indiva. Itu bagus pengemasannya, tidak menggurui, tapi anak dapat pesan moralnya; bahwa musibah mengajarkan banyak hal, terutama mengasah rasa syukur pada Allah."

Sebagai seorang ibu yang punya baby, Mbak Gita memilih waktu menulis di pagi hari, mulai jam 8. Mbak Gita yang bisa disapa di akun facebook Gita Fetty Utami dan instagram @gitafu ini juga memberikan komentarnya terkait polemik mengusik tentang lomba cerita anak di DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) yang tidak menentukan pemenang bahkan memberikan pernyataan menyinggung para penulis cernak. Mbak Gita mengatakan, "Sebenarnya begini (ini komen pribadiku), namanya ajang lomba tentu ada juri. Nah, juri pasti punya standarnya masing-masing. Jadi jangan terlalu lama baper hanya gara-gara komentar juri sebuah lomba, meskipun itu lomba yang bergengsi."

Demikian obrolan cernak dan cerma bersama Mbak Gita FU. Selamat berkarya, Mbak Gita. Terima kasih sudah berkenan berbagi di komunitas ODOP. Semoga kami bisa mengikuti jejakmu dalam dunia kepenulisan.

Get notifications from this blog

7 komentar

  1. MasyaAllah. Ilmu yang bergizi.

    Berati untuk cernak, usianya kisaran balita - kelas 6 SD yaa, Mas? Cerma untuk anak SMP - SMA, dan young adult untuk anak kuliahan? Kira-kira seperti itukah jika ditinjau dari masa sekolah?

    Thanks for sharingnya, Mas Wakhid.

    BalasHapus
  2. Mantab banget Pak Ketua. Saya terharu kelas sama Mbak Gita FU dibikin rangkuman kayak gini๐Ÿ˜

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sayang kalau dibiarkan hilang tertelan timbunan chat. :P

      Hapus
    2. Sama! Saya juga terharu pake banget! Terima kasih ODOP! ๐Ÿ˜

      Hapus
    3. Saya jadi terharu Mbak Gita nengok kemari.

      Hapus

Jangan lupa beri komentar, ya... Semoga jadi ajang silaturahim kita.