√ Kebenaran Tak Harus Dibenturkan - Halaman Rumah Syamsa

Kebenaran Tak Harus Dibenturkan


Setiap manusia bisa jadi memiliki konsep kebenaran sendiri-sendiri. Hal ini dipengaruhi keragaman kompetensi ilmu, guru, konteks, dan perspektif masing-masing. Dalam Islam, keragaman memaknai kebenaran merupakan rahmat. Dalam jamaah apa pun, umat sama-sama meyakini bahwa kebenaran mutlak adalah Alquran dan As-Sunnah. Keragaman cara berpikir membuat konsep jalan iman, amal, dan ilmu memajemuk. Bisa dipastikan masing-masing tidak akan rela konsepnya dianggap salah.

Pada dasarnya, keragaman konsep kebenaran tersebut alamiah belaka, sangat mudah dipahami, seiring dengan makin beragamnya konteks kehidupan kita yang khas dan unik, lokal dan berskop kewilayahan, yang jelas musykil untuk diseragamkan. Ini situasi yang rasional belaka (halaman  43).

Buku ini mengajak kita merenungkan kemajemukan di Nusantara, secara keyakinan dan tradisi,  terutama dalam menjalankan ajaran agama Islam, sebagai mayoritas di Indonesia. Menjaga segala perbedaan cara berpikir dalam berislam, agar segala konsep kebenaran yang dipahami dan dipegang, tetap menjadi rahmat. Yang selama ini tampak begitu pelik dan rumit adalah terjadinya benturan antarkebenaran. Pada titik inilah kita rawan berseteru.

Situasi sejenis juga terjadi dengan eskalasi yang sangat sensitif dalam khazanah tafsir dan takwil kebenaran wacana (paham) Islam (halaman 41). Meski sebenarnya kondisi seperti ini sudah ada sejak dahulu kala, sejak era para sahabat sepeninggal Nabi Muhammad SAW.

Penulis memberikan contoh dengan mengulik sejarah terjadinya Perang Shiffin antara jemaah Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Ketika sudah nyaris memenangkan peperangan, Ali memutuskan berdamai dengan mekanisme tahkim (arbitrase), seketika pecahlah kongsi di antara jemaah Ali sendiri. Lahirlah kelompok Khawarij yang sangat radikal, keras, antikompromi, yang bahkan kemudian merenggut nyawa sang khalifah melalui tebasan pedang Abdurrahman bin Muljam yang hafiz Alquran dan ahli ibadah, sambil memekikkan: "Tidak ada hukum kecuali hukum Allah!"

Tragedi itu, meskipun tak terpisahkan dari keriuhan politik, jelas bergumul dengan sensitif-peliknya  benturan antarkebenaran. Kebenaran yang dipegang Abdurrahman dan kelompoknya, terhadap kebenaran yang diyakini Ali bin Abi Thalib dan pengikutnya.


Akibat benturan antarkebenaran sedemikian mengerikan, maka dari itu sudah seyogianya kita bisa  saling  menghargai satu sama lain. Sudah saatnya kita berpikir lebih dewasa untuk tidak selalu membenturkan kebenaran yang diyakini.

Di negeri yang majemuk ini, kita semua menyadari bahwa kita hidup berdampingan dengan begitu banyak pemeluk agama lain, juga aliran/mazhab Islam yang beragam, plus latar adat, tradisi, dan budayanya masing-masing. Jika gairah berdakwah tidak diiringi pengetahuan wacana keislaman yang memadai di satu sisi dan sikap bijaksana di sisi lain terhadap kemajemukan ini, sungguh rawanlah ia  terjatuh pada konflik dan ketegangan (halaman 68).

Penulis buku ini mengambil perumpamaan Islam sebagai sebuah pohon berakarkan keimanan kepada Allah SWT, batang dan cabangnya adalah ketakwaan, daun dan buahnya adalah akhlakul  karimah.  Pohon yang menghunjam dengan kokoh, berdaun rimbun berbuah lezat akan menyejukkan dan  menghidupi siapa saja yang melintas dan berteduh. Tak peduli orang beriman atau kufur yang  berteduh di bawahnya, tetap merasakan kenyamanan. Begitulah seharusnya umat Islam menyikapi  keragaman.


Kebenaran tidak untuk dibenturkan dan dipaksakan kepada orang lain. Kita harus bisa menyikapi dengan dewasa dan santai, sebagaimana Allah SWT “Maha Santai” terhadap hamba-Nya yang tidak mematuhi dan mengikuti ajaran-Nya.

“Kemahasantaian” Allah SWT bisa ditelisik dari salah satu ayat-Nya, "Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Maka takkan beriman seseorang kecuali dengan izin Allah SWT. Dan Allah Swt menimpakan keburukan kepada orang-orang yang tak mempergunakan akalnya." (QS. Yunus : 99-100)

Kita yakin, mudah saja bagi Allah SWT kalau menghendaki semua orang beriman dan bersatu dengan kuasa Kun Fa-yakun-Nya, tapi tidak, Dia SWT tidak begitu, Dia santai-santai saja.....

Wakhid Syamsudin
Ketua umum Komunitas literasi One Day One Post (ODOP), tinggal di Sukoharjo, Jawa Tengah.

Resensi ini dimuat di koran Solopos edisi Minggu, 8 Desember 2019

Get notifications from this blog

2 komentar

  1. Bahasan yang berat. Saya jadi ingat pernah baca buku tentang saqifah yang membahas banyak tentang sejarah Islam
    .. terima kasih tulisannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tulisan Pak Edi ringan dan enak dibaca meski yang dibahas hal berat. :)

      Hapus

Jangan lupa beri komentar, ya... Semoga jadi ajang silaturahim kita.