"Pembunuhan" oleh Generasi Milenial
Judul buku : Millennials Kill Everything
Penulis : Yuswohady, Farid Fatahillah, Budi Tryaditia, Amanda Rachmaniar
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : I, 2019
ISBN : 978-602-06-2946-9
Tebal : xvi + 320 halaman
Buku ini mengulas tragedi bergugurannya berbagai hal akibat adanya Disrupsi Milenial (Millennial Disruption). Milenial adalah pembunuh berdarah dingin, mereka membunuh apa pun: golf, agen perjalanan, kamera digital, long-time employment, tata cara baju formal di kantor, kartu kredit, sepatu high heels, dan banyak lagi, ...everything!
Mengapa milenial menjadi generasi paling brutal dalam sejarah manusia? Dalam prolog buku ini disebutkan karena otak generasi milenial begitu intens terekspos teknologi dan media digital (brain plasticity) menjadikan perilaku dan prefensi mereka berubah secara ekstrem dan sama sekali berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. (hal. xi)
Satu per satu produk, layanan, dan industri yang dibunuh milenial ditelisik mendalam, dan terkerucut 50 bab yang masing-masing bab terpisah berisi analisis mengenai jatuh dan tak relevannya lagi produk, layanan, industri, dan perilaku sebagai dampak dari pergeseran nilai-nilai, perilaku, dan preferensi milenial.
Walaupun mengungkap jatuhnya berbagai produk dan industri, sesungguhnya buku ini justru menjadi buku consumer behavior karena sarat berisi analisis fenomena pergeseran konsumen milenial. Ketika konsumen milenial mendominasi pasar (baik dari sisi jumlah maupun daya beli), produk dan layanan yang tidak disukai dan ditinggalkan milenial secara otomatis akan mati karena kehilangan basis konsumen. Karena itu, tantangan terbesar perusahaan mapan (incumbent) saat ini adalah bagaimana mereka memperbarui konsumen lamanya dengan konsumen milenial. Yuswohady dkk mengulasnya dengan detail, komplit, dan sangat gamblang.
Milenial lebih suka akses (access) ketimbang kepemilikan (ownership). Itu sebabnya mereka adalah generasi yang menjadi penggerak sharing economy. (hal. 26) Bagi milenial, kepemilikan (rumah mewah, mobil terbaru, atau perhiasan mahal) kini tak lagi menjadi simbol kesuksesan dan pencapaian. Ownership doesn't matter anymore, access and sharing do.
Milenial lebih suka naik Grab atau Go-Jek daripada memiliki kendaraan sendiri berikut kerepotan merawatnya. Mereka lebih memilih berlangganan Netflix daripada mengoleksi DVD film-film Holywood. Lebih suka menyimpan file dan dokumen di layanan cloud seperti Google Drive atau Dropbox ketimbang menyimpannya di komputer atau hard disk sendiri. Mereka juga lebih enjoy memanfaatkan kantor bersama (co-working space) daripada memiliki ruko sendiri untuk kantor. Dan kemajuan teknologi digital memungkinkan hal-hal tersebut dilakukan dengan mudah dan murah.
Buku ini sangat penting bagi pemilik brand dan marketer untuk menyadari bahwa Disrupsi Milenial dan Disrupsi Digital sudah hadir di tengah-tengah kita dan banyak memakan korban. Karenanya, tidak ada cara lain bagi mereka kecuali melakukan exponential leap untuk mengubah paradigma lama menjadi paradigma baru, mengganti model bisnis lama ke model baru, untuk membilas konsumen lama dengan konsumen baru (milenial).
Salah satu yang dibunuh milenial adalah jam kerja di kantor atau pabrik dari pukul 9 pagi hingga pukul 5 sore ("9-to-5") dan bekerja seminggu 40 jam, yang merupakan warisan pola kerja abad ke-19 dan ke-20. Milenial yang hidup di tengah kemajuan teknologi internet dan mobile tak mau lagi tunduk dengan pola itu. Tak heran ada tulisan dengan judul yang menyentil: "Millennials: The Meteor that Killed 9-to-5" layaknya meteor yang telah membuat dinosaurus punah sekitar 65 juta tahun yang lalu.
Menurut survey, 77% milenial mengatakan memiliki jam kerja yang fleksibel, tak lagi di kantor 9-to-5, akan membuat mereka lebih produktif. Dengan pandangan seperti itu, kini sekitar 3,8 juta angkatan kerja milenial telah mempertimbangkan rumah sebagai kantor mereka. (hal. 2). Gaya hidup working from home (WFH) kini sedang melanda milenial seluruh dunia dan trennya makin menguat dari waktu ke waktu. Mereka berpandangan bahwa bekerja sesuai jadwal mereka menghasilkan output yang lebih tinggi.
Tak hanya membunuh pola jam kerja, tempat kerja, long-term employment, pakaian kerja formal, bahkan produk-produk terkemuka juga dibunuh milenial dengan kejamnya: kamera, jam tangan, album foto, kabel, sabun batang, game konsol, kartu kredit, televisi, CD, motor gede, rokok kretek, dan banyak lagi. Juga terbunuh layanan SMS, call center, agen perjalanan, bahkan perilaku sosial seperti percakapan, kebersamaan, permainan anak-anak, dan sebagainya. Ke-50 hal yang mulai berguguran itu dibahas tuntas dalam buku ini.
So, saatnya untuk tidak mengabaikan Disrupsi Milenial agar mereka tak membunuhmu dengan kejam! Selamat membaca.
Wakhid Syamsudin
Ketua Umum Komunitas Literasi One Day One Post (ODOP), tinggal di Sukoharjo, Jateng.
Dimuat di harian Solopos edisi 18 Agustus 2019
Get notifications from this blog
Boleh dong bukunya 1. Bagus banget kayaknya
BalasHapusAku jualan deh kalau mau. :)
Hapusmantap ini.. www.ipung.net
BalasHapusMakasih mas ipung...
HapusAku mrinding bacanyaaa. Bener bgttt. Milenials emg kretif dan mau ga mau yg generasi jaman old juga hrs makin giat berkreasi 😅😅
BalasHapusDan jangan remehkan generasi milenial... Hehe
HapusAku yang gen old, jadi mikir keras nih menghadapi tantangan apa yang akan terjadi terhadap anak-anak ku kelak
BalasHapusYang pasti, kita gak boleh lepas tangan begitu saja...
HapusBintangin judul bukunya. Terimakasih sharingnya Mas 👍
BalasHapusSip
Hapus