√ Cernak: Belajar Menulis - Halaman Rumah Syamsa

Cernak: Belajar Menulis

Cernak Belajar Menulis
Oleh : Wakhid Syamsudin

Haikal pulang dari rumah Bara dengan wajah cemberut. Ayah yang sedang mengetik di depan komputer segera menyapanya, “Anak Ayah kenapa, nih? Kok cemberut?”

“Belum juga Haikal beli mainan robot kemarin, sekarang Bara sudah punya koleksi terbarunya lagi.” Haikal duduk di samping sang ayah.

“Jangan suka begitu. Iri dengan milik orang lain itu tidak baik, Nak.”

“Ayah selalu bilang begitu. Haikal kan juga pengin beli robot itu.”

“Bukannya Bunda bilang kamu boleh beli asalkan bisa mengumpulkan uang sendiri? Uang sakumu sebagian disisihkan untuk ditabung,” kata Ayah.

“Tapi Bara, kan, tidak perlu menabung, langsung dibelikan mamanya!” protes Haikal.

Ayah menghentikan ketikannya. “Tuh, kamu lagi-lagi iri dengan orang lain. Pokoknya, seperti kata Bunda, kalau kamu mau beli mainan mahal itu, kamu harus menabung dulu sampai uangmu cukup.”

“Lama dong, Yah! Kan Haikal belum bekerja. Kalau Haikal sudah kerja pastilah bisa mendapat banyak uang.”

Cerita anak


Ayah tersenyum. “Kamu benar pengin dapat uang?”

“Ya iyalah, Yah.”

“Kamu lihat, apa yang Ayah kerjakan sekarang?”

Haikal melihat layar monitor komputer yang ditunjukkan Ayah. “Ayah menulis cerita lagi? Dikirimkan ke koran lagi?” tanyanya.

“Iya. Kalau dimuat, Ayah dapat uang honor. Kan kamu sering lihat juga Pak Pos kemari mengantar wesel?”

Haikal memang sering melihat Ayah menerima kiriman uang lewat wesel dari koran yang memuat tulisan Ayah.

“Tapi kan Haikal tidak bisa bikin cerita seperti Ayah,” kata Haikal manyun.

“Kata siapa tidak bisa? Asal mau belajar, kamu pasti bisa.”

“Memangnya bisa dipelajari?”

“Bisalah. Ayah juga belajar dulu sebelum bisa menulis cerita dengan baik.”

Haikal terdiam sejenak. “Lalu, apa yang harus Haikal tulis, Yah?”

Ayah tersenyum. “Kamu bisa mulai menulis ceritamu sendiri. Apa yang kamu alami setiap hari, bisa jadi ide dalam menulis.”

“Haikal tidak bisa.”

“Bisa. Kan belum dicoba,” kata Ayah. “Ayah akan bantu kamu menuliskan cerita pertamamu.”

“Caranya bagaimana?” tanya Haikal.

“Diketik di komputer Ayah. Kamu kan sering mainan komputer. Gampang, kan?”

“Terus, Haikal nulis apa?”

“Tulis saja cerita keinginanmu membeli mainan seperti punya Bara.”

Haikal diam berpikir. “Benar, itu bisa jadi cerita, ya, Yah.”

“Iya. Untuk penulis anak-anak, tidak harus panjang ceritanya. Baiklah, kita mulai, yuk.”

Haikal benar-benar menuliskan ceritanya pada komputer Ayah. Sedikit-banyak Ayah membantunya memilih kata dan membenarkan tanda baca yang salah peletakannya.

Setelah cerita selesai, Ayah mencetaknya dengan printer. Kemudian memasukkannya ke dalam amplop berwarna cokelat. “Kita ke kantor pos,” ajak Ayah.

Haikal baru kali ini diajak Ayah ke kantor pos untuk mengirimkan naskah ceritanya ke salah satu koran yang biasa memuat cerita karya anak sekolah dasar.

Hari demi hari berganti. Sudah dua minggu tidak ada kabar tulisan Haikal dimuat di koran. Sementara Bara sudah membeli mainan baru lagi. Haikal jadi kesal dan mengadu lagi pada Ayah.

“Ayah, belikan Haikal robot seperti punya Bara.”

“Eh, apa tabunganmu sudah cukup?”

“Haikal sering lupa menyisihkan uang saku, Yah.”

“Tuh, kan? Berarti belum genap dong uangnya buat beli.”

“Kan Haikal nunggu cerita Haikal dimuat di koran,” sanggah Haikal.

Ayah menghela napas. “Anak Ayah yang ganteng. Cerita yang dikirim ke koran itu tidak selalu bisa dimuat, karena banyaknya orang yang juga kirim cerita ke sana.”

“Berarti Ayah bohong dong. Haikal tidak jadi dapat uang.”

“Haikal tidak boleh putus asa. Sekarang, kita tulis cerita baru.”

“Kalau tidak dimuat lagi, percuma, Ayah!”

“Ya harus sabar, Nak. Sekarang Haikal tulis cerita baru lagi. Kalau yang kedua ini tidak dimuat juga, Ayah janji tetap akan belikan mainan robot itu. Tapi harus selesai tulisan keduamu.”

Haikal berbinar, dan tidak lama kemudian ia sudah asyik mengetik di komputer Ayah.

Hari Minggu tiba, Ayah yang membuka internet di komputer, berseru memanggil Haikal. Haikal lekas mendekat. “Nak, cepat lihat kemari!”

Haikal segera mendekat. “Ada apa, Yah?”

“Lihat ini, cerita pertamamu berhasil dimuat di koran!” kata Ayah sambil menunjuk tampilan koran yang ada di layar komputer.

Haikal seperti tidak percaya, namanya tercantum di koran tersebut bersama cerita pertama yang dibuatnya. Ayah lekas berkata, “Selamat, ya. Makanya harus bersabar. Sekarang kamu puas kan lihat hasil dari usahamu?”

“Hore! Terima kasih, Ayah!” Haikal memeluk sang ayah.

Dimuat di harian Solopos Minggu rubrik Anak edisi 4 Agustus 2019

 

Get notifications from this blog

12 komentar

  1. Entah bagaimana, ada banyak pesan tersirat dan tersurat yang saya dapatkan,terimakasih Mas wakhid..
    Itu gambarnya gimna ya mas? Kok keren, jadi seperti koran.. Ehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih kunjungannya Mbak Nafida. Ilustrasinya nyomot di epaper Solopos.

      Hapus
  2. Wah, cerita sederhana, tetapi sangat bermakna, Pak. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Syukurlah jika bisa diambil hikmah dari kisah fiksi ini. :))

      Hapus
  3. Bua saya...Menulisa fiksi apalagi dg tema anak.. itu perlu usaha yang luarrrr biasa..keren mas

    BalasHapus
  4. Banyak sekali ilmu yang terkandung di dalamnya, Pak. Termasuk mengajarkan anak untuk berdikari sendiri, dan itu satu point yang terpenting. Keren sekali tulisannya, ah jadi pengen belajar lebih giat lagi dalam dunia literasi

    BalasHapus
  5. Bagus banget ceritanya, sederhana tapi memiliki bangak makna... 👍

    BalasHapus
  6. Cerita sederhana,tapi syarat dengan makna ,pesan moralnya bagus banget.saya senang membacanya
    Terima kasih Pak,Wakhid

    BalasHapus

Jangan lupa beri komentar, ya... Semoga jadi ajang silaturahim kita.