Nasib Netiquette di Tahun Politik
Oleh: Wakhid Syamsudin
NEGERI tercinta memasuki tahun politik, setidaknya ini dimulai sejak Pilkada 2018, dan berlanjut gelaran Pileg dan Pilpres tahun 2019. Pesta demokrasi pemilihan pemimpin untuk lima tahun ke depan mulai kencang bergema. Sudah pasti, politik mencuatkan persaingan antara partai politik maupun calon pemimpin. Bahkan, panasnya suasana itu juga memantik pergulatan di kalangan tim sukses, pendukung dan simpatisan para kandidat.
Persaingan yang sehat akan menumbuhkan kesadaran berdemokrasi, tapi sebaliknya, dampak negatif persaingan itu muncul ketika para peserta politik saling menyerang dan mencari kelemahan satu sama lain. Suhu politik yang tidak sehat bisa berakibat sangat buruk, rentan konflik sosial di masyarakat, bahkan berpotensi terjadinya disintegrasi bangsa bahkan perpecahan yang sangat tidak diinginkan.
Ranah daring di media sosial kita sudah banyak dibanjiri berbagai macam postingan-postingan berbau politik yang disertai komentar-komentar tajam dan pedas. Seolah beranda dipenuhi negative campaign di mana masing-masing berkampanye dengan mengemukakan sisi negatif atau kelemahan faktual dari lawan politik, bahkan menjurus kepada black campaign dengan taburan fitnah, ujaran kebencian, dan kebohongan serta berita hoaks. Gampangnya masyarakat sebagai warganet untuk membagikan segala postingan tanpa filter juga makin menambah gaduhnya suasana. Apalagi ditingkahi dengan komentar demi komentar saling nyinyir tanpa memperhatikan etika dalam berinternet.
Barangkali perlu kembali kita ingatkan, dalam dunia maya, meski tidak secara langsung, kita tetap berhadapan dengan sesama manusia yang memiliki hati dan perasaan, sehingga tidak selayaknya mengabaikan sopan santun dalam ‘berbicara’. Etika dalam berinternet lebih dikenal dengan istilah netiquette.
Netiquette kependekan dari network etiquette, adalah etika dalam berkomunikasi lewat internet. Netiquette memiliki fungsi yang sama dengan etika yang ada di dalam lingkungan sosial manusia, yaitu merupakan tata krama atau sopan santun yang harus diperhatikan dalam pergaulan agar terjaga hubungan yang selalu baik.Dan aturan ini sering diabaikan karena sebagian warganet merasa acuh, toh lawan ‘bicara’ tidak berhadapan secara fisik.
Salah satu rujukan etika komunikasi di internet adalah artikel Virginia Shea yang dipublikasikan oleh Albion Books, San Francisco, 1994 berjudul The Core Rule of Netiquette. Virginia Shea mengemukakan peraturan berinteraksi di dunia maya yang intinya sama dengan etika komunikasi dalam dunia nyata. Adhere to the same standards of behavior online that you follow in real life. Sebagaimana saya sebutkan di atas, warganet seharusnya menyadari sepenuhnya bahwa kita sedang berinteraksi dengan manusia juga (remember the human), yang bisa-bisa tersinggung dan sakit hati dengan postingan ataupun komentar kita.
Kita harus mampu mengendalikan emosi, jangan sekali-kali posting atau komentar apa pun dalam kondisi marah, dan jangan ragu meminta maaf jika keliru bahkan membuat tersinggung orang lain. Begitupun jika lawan bicara meminta maaf, selayaknya kita juga berlapang dada memaafkannya. Perbedaan pilihan politik itu lumrah, tapi jangan menghilangkan akal sehat dan kesopanan kita.
Standar acuan netiquette juga ditetapkan oleh IETF ( The Internet Engineering Tasking Force), yaitu suatu komunitas masyarakat internasional yang terdiri dari para perancang jaringan, operator, penjual dan peneliti yang terkait dengan evolusi arsitektur dan pengoperasian internet. Beberapa pelanggaran umum dari aturan netiquette ini di antaranya adalah banyak warganet yang melakukan spamming atau junking, yakni mengirimkan sesuatu yang tidak layak pada tempatnya atau menyampah.
Lalu flamming dengan membuat postingan atau ataupun komentar yang memanas-manasi orang lain (provokatif). Kemudian juga tindakan trolling yang tidak berhubungan dengan bahasan.
Dan yang paling mengerikan di tahun politik ini adalah banyaknya informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan atau hoaks.
Pelanggaran atas aturan tersebut tentu berpotensi menyinggung perasaan orang lain. Dalam dunia politik, kita sah-sah saja menunjukkan dukungan atas kandidat tertentu, tapi jangan serta-merta mengabaikan aturan etika yang sudah berlaku secara umum.
Berinteraksi di media sosial dengan tetap mengedepankan tata krama dan sopan santun adalah sebuah tindakan bijak sebagai warganet.
Jika kita kaitkan dengan agama, maka kita tentu harus menyadari, apa yang kita tulis kelak akan dimintai pertanggungjawaban.
Mengabaikan netiquette hingga melukai perasaan orang lain adalah sebuah dosa yang hanya akan diampuni Tuhan ketika yang bersangkutan dengan sukarela memaafkan kita. Bagaimana kita begitu saja dengan enteng mengabaikan etika semacam ini, sementara kita sendiri akan merasa sakit hati saat tersinggung, apalagi mendapati kalimat kotor dari lawan ‘bicara’ kita?
Apakah nasib netiquette di tahun politik ini terabaikan begitu saja? Mari kita sudahi perdebatan kotor yang menjurus kepada perpecahan.
Selayaknya politik mendidik kita untuk maju dalam pemikiran, menjadikannya ajang untuk mengambil posisi sebagai agen pembangunan dan pembaruan politik sebagai upaya mencapai perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini semua merupakan tanggung jawab moral kita bersama. Dan menjadi santun itu adalah sesuatu yang indah. ***
Penulis adalah Ketua Umum Komunitas Menulis One Day One Post (ODOP), Tinggal di Sukoharjo, Jawa Tengah
Dimuat di Harian Analisa edisi Rabu, 10 April 2019
Get notifications from this blog
Lagi booming banget nih yang kayak gini .huhuhu
BalasHapusEh, yang mana, Mbak? :)
HapusSemoga kedamaian 'kan segera kembali pada Indonesia Raya.
BalasHapusKita emang damai kan?
Hapus