Piatu
PARMIN bergegas berlari kecil mengejar pria paruh baya itu. Menyadari ada yang berlari ke arahnya, si pria berhenti berjalan. Pria berkopiah putih itu tertegun mendapati tubuh kurus Parmin di hadapannya. “Parmin, maafkan saya, ya,” pintanya.
Parmin hanya tertunduk saja. Pria dewasa di depannya mendengus. “Seharusnya, jatahmu tidak perlu dihentikan. Saya akan coba bicara lagi sama Bu Hajah.”
Usai menepuk bahu ringkih Parmin, ia melangkah pergi. Ada beberapa amplop berisi uang yang harus segera ia sampaikan kepada pemilik nama yang sudah dicatatnya. Parmin mengangkat wajah melihat pria yang beberapa bulan menjadi malaikatnya itu hilang di tikungan jalan kampung. Beberapa jenak, ia baru berbalik. Pulang.
Nenek yang melihatnya tampak dekil dengan baju lusuh itu lekas berseru, “Parmin, lekaslah mandi. Bapakmu hari ini mau pulang sama perempuan sundal itu. Bagaimana pun, perempuan itu kini adalah bini bapakmu.”
Parmin tidak menggubris perkataan Nenek. Ia masuk rumah reyotnya yang sungguh tidak layak huni. Perutnya lapar. Entah ada tidak yang dimasak Nenek hari ini. Ia meringis saat nasi hanya berkawan sambal yang ia dapati.
Parmin masih ingat pria paruh baya yang selalu memakai kopiah putih itu tempo hari berkata, “Parmin, maafkan saya, namamu sudah dicoret Bu Hajah. Kamu bukan piatu lagi.”
“Tapi cucuku anak yang malang, tidak bisakah Bu Hajah mengecualikan dia?” tanya Nenek.
“Amanat dari almarhum Pak Haji, amplop bulanan ini hanya untuk anak yatim atau piatu. Tidak punya ayah, atau tidak punya ibu.”
“Tapi, tidakkah kau lihat kemiskinan di gubuk reyot ini?”
“Saya akan bicara sama Bu Hajah. Meski saya yakin, nama Parmin tetap disilang.”
Lamunan Parmin terganggu suara kasar Bapak di luar. Nenek menyambut dua tamunya itu dan menyuruhnya masuk. Parmin tiba-tiba teringat Emak. Kalau saja dulu Bapak peduli pada kondisi kesehatan Emak, pasti Emak tidak secepat itu dikubur di pemakaman kampung. Tapi Bapak tidak pernah lepas dari minuman keras dan judi. Bahkan, perempuan yang dikawininya sebagai ganti Emak juga bukan perempuan baik-baik, begitu Nenek pernah bilang.
Tiba-tiba, mata Parmin menumbuk ke sebilah pisau dapur yang tergeletak di dekatnya. Terngiang kata-kata pria berkopiah putih. Dan ia merindukan status piatunya. Ia mendengus sambil menggenggam gagang itu dengan penuh gelegak.
*)Suden Basayev, Ketua Umum Komunitas Menulis One Day One Post (ODOP). Tinggal di Sukoharjo, Jawa Tengah.
Dimuat di Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat edisi Minggu Pahing, 27 Januari 2019 (20 Jumadilawal 1952) halaman Budaya.
Get notifications from this blog
Daebakk 😉😉
BalasHapusLangsung deh googling artinya apaan.
HapusDaebak (대박) adalah ekpsresi gaul yang biasa digunakan oleh anak muda di Korea ketika melihat/mendengar sesuatu yang mengagumkan, lucu, keberhasilan, hebat dan sebagainya. Daebak (대박) memiliki arti "wow", "hebat", "luar biasa", "mantap", "mengaggumkan", "keren", "tidak dapat dipecaya" dan sebagainya.
Good joob paketu
BalasHapusAyolah... Aku ingin kalian jadi panaszz.
HapusKeren, itu tulisan untuk kolom apa?
BalasHapusEh cerpen, ya. Kok sikit kayaknya jumlah katanya
HapusIya Mbak Wid. Cerpen di KR maksimal 1500 karakter, kasihan ya, harus berbagi ruang dengan cerkak dan puisi.
HapusBisa gitu ya endingnya. Excellent, Captain! 👍
BalasHapusNekat aja sih.
Hapusmantap, mas Wakhid.. tulisannya sllu inspiratif. Tapi kalo yg ini endingnya agak ngeri jg, @-)
BalasHapusDilanjutin jadi cerita horor.
HapusEndingnya keren👍
BalasHapusCeritanya mengalir, jadi membayangkan tragedi selanjutnya...
Serem.
HapusSeandainya ada kelanjutannya, saya harap Parmin nggak berpikir pendek. Makasih untuk tulisannya, Paketu.
BalasHapusSaya harap juga begitu, Mbak. Sebenarnya amanatnya tidak ke situ arahnya. Tapi segala musabab terbentuknya pola pikir pendek ala Parmin, bisa jadi didikan pengaruh lingkungan.
HapusSuper keren....����������
BalasHapusDaebak?
Hapusheol.. daebakk.. pak..😎 nama parmin mengingatkanku pada nama anak sapi bapak di rumah..diberi
BalasHapusnama Parmin karena dia lahir di hari senin.. okay ini nggak penting.. tapi cerpenmu keren pak.. 😆
Tunggu, tunggu, sapi emang perlu gitu pakai diberi nama?
HapusAku kok jadi sedih ya
BalasHapusMaaf ya, Mbak Ky.
Hapussuperb mas... aku panas
BalasHapusAyo maakkk, nulis dan serbu medianya!
HapusMau mau mau ....
HapusBagi2 tips ya, paketu? 🙏
Endingnya, keren. Bikin kaget'
BalasHapusYa ampun!
HapusEndingnya mengejutkan tapi kalau ada nextnya lebih seru pastinya. Keren Pak
BalasHapusIni cerpen bukan cerbung, hehe.
HapusAkhir yang menyedihkan, mudah-mudahan tidak ada yang meniru karena berpikir sempit 😭😭😭
BalasHapusKeren pak.
BalasHapusTp emg gtu Y? Klo ada ibu tiri, sttus piatu bisa hilang?
Sepahamku gitu sih.
HapusMantapp, Pak Ketua!
BalasHapusCara berpikir memang dipengaruhi bagaimana dan di mana ia bertumbuh.
Yups, akur!
HapusEmosinya kena banget.
BalasHapusBagus tulisan dan pesan di dalamnya.
Terima kasih
HapusEndingnya wow banget kak 😱 keren keren keren.
BalasHapusSelvi
HapusMakasih...
HapusEndingnya mengejutkan, maaf kak ini pembaca diminta menyelesaikan sendiri yaa.
BalasHapusEnding yang menggantung.
HapusJadi penasaran lanjutannya
BalasHapusIh, ini mah udah kelar.
HapusEnding yang tak terduga
BalasHapusSyukurlah
Hapus