Pengurus RT/RW Bisa Netral?
Membaca headline Harian Umum Solopos edisi Kamis Wage, 15 November 2018 berjudul Pengurus RT/RW Dilarang Kampanye, saya jadi bertanya-tanya, bisakah para pengurus rukun tetangga dan rukun warga itu netral dalam pemilihan umum?
Menurut ketentuan dalam Peraturan Badan Pengawas Pemilu (Perbawaslu) No. 28/2018 tentang Pengawasan Kampanye Pemilu Pasal 6 ayat (2) tersebutlah 12 pihak yang tidak boleh terlibat dalam kampanye. Mereka yaitu hakim, pejabat negara bukan anggota partai politik, PNS, TNI, Polri, kepala desa, perangkat desa, pengurus RT (rukun tetangga)/RW (rukun warga), dan anggota BPD (Badan Permusyawaratan Desa).
Bahkan Bawaslu menyebut pelanggaran terhadap ketentuan tersebut masuk pidana pemilu (bawaslu.go.id). Selama ini, peran RT/RW dalam pemilihan umum sangat dimanfaatkan oleh tim sukses dari kandidat yang mencalonkan diri.
RT/RW sebagai lembaga kemasyarakatan ujung tombak perpanjangan tangan pemerintah sebagai pelayan masyarakat tentu menjadikannya sangat dekat dengan para pemilih, sehingga dinilai sangat potensial untuk menggalang dukungan secara langsung dari warga yang memiliki hak pilih. Apalagi secara etika dan moril, pengurus RT/RW adalah panutan warga dalam lingkungannya.
Keberhasilan tim sukses masuk ke ranah kepengurusan RT/RW menjadi modal mendulang suara warga. Untuk mencapai hal itu, tim sukses biasanya menjanjikan atau bahkan menggelontorkan dana yang masuk ke dalam kas RT/RW sehingga keberadaan kandidat yang mereka usung serasa berhasil mengikat dengan budi yang harus berbalas jasa berupa afiliasi politik.
Pengurus RT/RW yang terjebak dalam permainan politik seperti ini kemudian cenderung melakukan intervensi pada warga, bahkan tidak jarang ada yang berlaku intimidasi kepada warga yang tidak bersedia menyatukan suara untuk kandidat yang diusung.
Di sinilah mulai muncul kerawanan, di mana kenyamanan dan keamanan warga dalam hak memilih yang seharusnya bebas dari paksaan, hilang ditelan keterpaksaan menurut pada pilihan bersama yang kadang tidak sesuai hati nurani.
Seharusnya, pengurus RT/RW bisa bersikap netral karena fungsi mereka adalah memelihara keamanan, ketertiban, dan kerukunan hidup antarwarga. Keterlibatan mereka dalam politik praktis sesungguhnya justru mengurangi kewibawaan dan kebijaksanaan sebagai tokoh masyarakat. Warga di bawah mereka seyogianya mendapatkan keamanan dan jaminan atas hak asasi sebagai pemilih tanpa intimidasi.
Pengurus RT/RW seharusnya mengembalikan masalah pemilihan umum di Indonesia pada asas ”Luber” yang merupakan singkatan dari langsung, umum, bebas dan rahasia. Asas Luber ini sudah ada sejak zaman Orde Baru. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan.
Umum berarti diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Dan rahasia yang artinya suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia, hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
Bahkan sejak era reformasi, berkembang pula asas Jurdil yang merupakan singkatan dari jujur dan adil. Di mana jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum bisa memastikan setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih.
Sementara asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu. (Wikipedia.com).
Oleh karenanya, marilah kita sama-sama menjaga marwah penyelenggaraan pemilihan umum, agar terwujud masyarakat demokratis dan tetap menjaga kerukunan dalam kehidupan sosial. Agar pemilihan umum dapat dimulai dengan kerukunan, terlaksana dengan kerukunan, dan berakhir dengan kerukunan yang tetap terbina.
Wakhid Syamsudin
Ketua RT di Sidowayah RT 001/006 Ngreco, Weru, Sukoharjo
Dimuat di harian umum Solopos edisi Jumat Pahing, 23 November 2018 pada rubrik Gagasan.
Get notifications from this blog
Kalau netral ga dapet uang kas dong om? 🤔
BalasHapusKadang pada gak berpikir tentang keberkahannya.
HapusIki.... ...
BalasHapusNggih pak RT (p)
BalasHapusHusss
HapusMasuk pak eko (h)
BalasHapusMantap mbak Muth!
HapusYeay masuk koran.... 👏👏👏👏😁
BalasHapusAlhamdulillah mbak lia..
Hapusdi daerahku pada ngga netral kak.
BalasHapusKrn mereka lebih suka Via Vallen daripada Netral 😅😅😅
Pantesan kamu suka joget2 sendiri. :))
Hapuswkwkwkwk sereem doong kak >,,,<
HapusJoget mah gak serem. Sendirinya yg serem ya?
HapusKang Wakhid Pak RT kah?
BalasHapusSttt! Sudahlah...
HapusMau netral 100% sulit. Dulu saya pernah jadi ketua RT dua periode lho...
BalasHapusPak Parto mampir, mangga, Pak... Memang sih, sulit, pasti kandidat lebih giat mendekati.
HapusNetral aja, ra netrale yen wis nek bilik..
BalasHapusTetap pilih sesuai hati nurani yo mas...
HapusKetua RTne kaya mas Wakhid dijamin luberjurdil 😊
BalasHapusTapi gak dapat dana kas lho!
Hapus:-? jadi ketua RT itu enak apa enggak sih?
BalasHapusJadilah ketua rt agar bisa merasakannya langsung.
Hapus