Nenek Moyang Sovia
Saya hampir kehilangan kesadaran. Tidak kuasa saya melawan gelombang air Parit Besar. Beberapa teguk saya telah meminumnya tanpa sengaja. Hampir benar-benar tenggelam sebelum akhirnya seseorang menyelamatkan saya. Dialah Putra Salju.
Putra menarik tubuh saya menepi. Dibantu Lutfi dan ayah Putra, akhirnya saya lolos dari maut. Di tepian sungai saya memuntahkan air yang tertelan. Dan syukurlah, saya tetap sadar untuk melanjutkan cerita ini.
“Om tidak apa-apa, kan?” bertanya Sovia penuh kekhawatiran.
Saya duduk bersandar batu besar. “Aku baik-baik saja, Sov.”
“Beruntung ada Kak Putra yang menolong Om. Kalau sampai sedikit saja terlambat, Sovia tidak bisa membayangkan bagaimana nasib Om Suden.”
“Sejak kapan kamu memanggilnya ‘Kak’, Sov?” Lutfi yang gusar.
Sovia menoleh Lutfi. “Kenapa, Lut? Tidak boleh?”
“Terserah kamu juga sih, bukan urusanku!” Lutfi menjawab ketus. Lalu dia berjalan menyingkir.
“Kamu mau ke mana?” tanya Sovia.
“Cari angin segar, gerah di sini.”
“Jangan jauh-jauh, nanti kamu tersesat,” kata Sovia mengingatkan.
“Apa pedulimu? Aku bukan anak kecil, bukan anak sekolahan lagiseperti kamu!”
“Iya. Tapi kita sedang di tanah orang. Kita belum hafal daerah sini.”
Saya mencoba bicara. “Sudah, Sov. Biarkan Mas Lutfi menenangkan diri. Ada kecamuk bara di hatinya.”
“Hahaha. Sok tahu Mas Suden!” sergah Lutfilekas.
“Aku pernah muda, Mas Lutfi. Pernah merasakan hal sama sepertimu.”
Sementara Putra Salju berbincang dengan ayahnya. Kedua anak-bapak itu tidak memedulikan obrolan saya dengan Sovia dan Lutfi. Lutfi sendiri mulai menjauh. Tapi hanya beberapa meter dari tempat saya bersandar.Dia duduk di bawah sebatang pohon besar.
“Sov, kamu menyukai Lutfi?” tanya sayapelan, agar tidak didengar Lutfi.
Sovia tergelak. “Apaan sih, Om? Sovia masih bayi kemarin sore juga. Sekolah aja belum beres, mau suka-sukaan. Jauhlah!”
“Kalau sama Putra?”
Pipi Sovia memerah. Lekas ia lirik Putra yang masih berbincang dengan ayahnya. Takut pertanyaan saya didengar pemuda itu mungkin.
“Auah. Tidak penting juga soal itu!” Sovia mencoba menutupi kegugupannya.
“Hem ... Om tahu, tapi sudahlah ... Kamu masih anak-anak.” Saya tidak ingin membuat gadis itu makin malu.
“Bahas yang lain saja, Om!”
“Mau bahas apaan?” tanya saya.
Sovia terlihat berpikir. “Apa, ya? Om kan suka sejarah. Cerita deh tentang sejarah!”
“Dih ... Aku baru juga mentas dari tenggelam, Sov. Mana masih basah kuyub begini juga.”
“Daripada Om nanya yang aneh-aneh lagi,” sahur Sovia.
Saya tertawa. “Pengalihan pembicaraan ini namanya. Okelah. Kamu sudah tahu kisah nenek moyangmu, Sov?”
“Nenek moyang? Maksud Om nenek moyang suku Dayak gitu?”
Saya mengangguk.
"Bolehlah, Sovia juga mau tahu. Selama ini Sovia acuh saja tentang hal itu. Tapi Om beneran tahu?"
"Cerita tentang nenek moyangmu adalah cerita tentang Tambun dan Bungai, tokoh supranatural yang sakti mandraguna," kata saya dengan gaya meyakinkan seolah banyak tahu tentang hal itu.
"Sovia pernah dengar itu, Om. Mereka adalah tokoh legenda Suku Dayak Ot Danum yang tinggal di tengah pulau Kalimantan, khususnya wilayah Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah."
"Ya, betul. Kamu ternyata tidak buta sama sekali tentang kisah itu," komentar saya salut. "Legenda dan cerita rakyat Tambun Bungai sangat dikenal masyarakat setempat sebagai asal usul manusia di bumi Kalimantan Tengah. Tambun dan Bungai dianggap tokoh supranatural sekaligus nenek moyang suku Dayak. Walaupun areal atau situs-situs pemukiman mereka sudah banyak yang hancur dimakan usia, lokasinya masih dianggap sakral dan merupakan tempat larangan sehingga sampai sekarang tetap bertahan."
"Om keren deh, tahu banyak tentang suku Dayak!" puji Sovia sambil acungkan jempol.
"Enggak juga, Sov. Aku cuma baca ebook berjudul The Ot Danum From Tumbang Miri Until Tumbang Rungan (Based on Tatum) Their Histories And Legends karya Abdul Fattah Nahan dan During Dihit Rampai yang terbit dalam 3 bahasa, Dayak Ngaju, bahasa Indonesia, dan Inggris."
"Apalagi yang Om dapat dari membaca ebook itu?" tanya Sovia penasaran.
Saya mengingat-ingat. Menghela napas sebentar sebelum menjawab, "Situs Tambun dan Bungai terletak di desa Tumbang Pajangei, Kecamatan Tewah, Kabupaten Gunung Mas. Lokasi tersebut hanya berjarak 9,2 km dari Kota Kuala Kurun sehingga dapat ditempuh oleh segala jenis kendaraan dengan kondisi jalan yang sudah beraspal. Situs ini menyimpan berbagai bentuk peninggalan sejarah, antara lain berupa patung Tambun Bungai, Kumpulan Penyang Pusaka, Pasah Patahu Tambun Bungai, situs Batu Bulan, dan Sandung Tamanggung Sempung."
"Wah ... keren deh, Om!"
"Kamu juga keren kalau mau baca sejarah itu. Kamu sebagai anak Dayak musti melestarikannya, Sov."
Sovia mengangguk cepat. "Baik, Om, Sovia akan membacanya. Nanti Sovia minta ebooknya, ya!"
"Oke."
Saat itulah, Putra Salju mendekati kami. Saya lekas berdiri menyambutnya. "Putra, maafkan saya atas keusilan di postingan sebelumnya, yang bisa dibaca di link ini."
"Tidak apa-apa kok. Saya sudah memaafkannya," jawab Putra Salju mantap.
"Saya juga mengucapkan terima kasih atas kebesaran hatimu menyelamatkan saya yang hampir tenggelam di sungai," kata saya tulus.
"Sudahlah. Itu kewajiban kita sesama manusia," jawab Putra Salju pula. "Saya mau pamit, harus pulang sama Ayah. Ada banyak pekerjaan menunggu saya."
"Baiklah, silakan."
Putra Salju pergi bersama ayahnya. Sovia memandang takjub. "Mulia sekali hatinya," desisnya.
#Tugas2RCO3Tingkat4
#OneDayOnePost
Get notifications from this blog
Sovia bin Tambun?
BalasHapusSovia mah cewek, Zil. :))
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusPura-puranya gitu. Wkwk
HapusUdah kubaca kok dihapus mbak Is?
HapusMakin keren udah (y)
BalasHapusLutfi cemburu tuh wkwk
BalasHapusKukonfirmasi enggaaaak katanya.
BalasHapusKreatif.. Keren pak...😎😎😎
BalasHapusEh, bu gurunya Sovia datang. Kabur ahhh
BalasHapus