√ Takziah Cinta - Halaman Rumah Syamsa

Takziah Cinta


13 Januari 2013 07:15 WIB

Pagi yang indah sebenarnya, jika tak ada sedih yang tiba-tiba menghunjam. Langit cukup cerah, cuaca yang mendukung meski di musim penghujan.

Agenda hari ini, saya dan istri beserta para sahabat seperjuangan di TPA akan menemani adik-adik santri TPA melaksanakan outbond ke daerah perbukitan yang tak jauh lokasinya dari masjid. Wajah-wajah polos yang ceria, menanti mobil yang akan membawa ke area outbond.

"Yah," suara istri saya. Yang memulai kisah sedih di hari Minggu. Bidadari dunia-akhirat saya ini memegangi anak pertama kami yang baru berusia 1,5 tahun, yang tak bisa berhenti, selalu aktif berjalan ke sana kemari. Satu tangannya memegang ponsel lokal buatan China yang menampilkan barisan huruf yang menciderai indahnya pagi ini.

Saya menolehnya. Menemukan raut kesedihan itu. "Mbak Dilla akhirnya meninggal dunia, Yah."

***

Di kamar cinta kami, beberapa bulan lalu.

"Mbak Dilla SMS," suara istri saya yang sangat saya cintai.

"Kenapa?"

"Ada-ada saja, nih. Mau nikah tapi katanya ragu. Takut kehilangan waktu bersenang-senang. Ingin memanfaatkan masa sebelum jadi istri orang untuk menikmati kebebasan."

Saya tersenyum.

"Bunda balas, keraguan seperti itu biasa datang di masa-masa menunggu hari pernikahan."

Saya lebarkan senyuman. "Kayak Bunda dulu, ya? Ragu mau nerima Ayah?" goda saya.

"Ih, Ayah. Bukannya begitu."

"Bunda juga bingung, kan, ragu-ragu sama Ayah?"

"Dulu iya, bayangkan, kenal juga belum lama, tahu-tahu Ayah ngajak nikah, siapa yang nggak bingung?"

Saya nyengir. "Kasihan Bunda ya. Hehe. Toh sekarang keraguan Bunda sudah sirna, kan, seiring makin kenal sama Ayah...."

Istri saya ikut nyengir. "Iya, iya." Dan dia tak bisa menyangkalnya.

***

Kami hanya menyewa 1 mobil bak terbuka untuk mengangkut para santri. Lokasi yang memang tak jauh dari masjid memungkinkan untuk 2 kali angkut bolak-balik. Santri putri sudah berangkat duluan. Tinggal menunggu giliran santri putra.

Anak saya yang paling senang naik mobil sudah geger dari tadi, apalagi tidak saya turuti berangkat naik mobil pertama. Bundanya menenangkannya, menghibur agar tidak menangis.

"Dimakamkan jam berapa?" tanya saya.

"Jam 4. Nanti Ayah ikut takziah, kan?"

Saya mengangguk. Semestinya.

***

Sepulang liqo, istri saya yang memang selalu cerewet jika berbicara dengan suaminya, apalagi kalau punya bahan cerita yang dianggapnya sangat penting, langsung meminta waktu saya.

"Tahu nggak, Yah," jadi kayak bergosip, nih!

"Apaan?"

"Mbak Dilla sekarang pakai cadar!"

Tak ada yang salah sebenarnya, kan? Muslimah bercadar. Lepas dari status hukumnya yang masih banyak perdebatan, antara wajib atau sunnah, toh itu ajaran Nabi juga.

"Menuruti keinginan suaminya," kata istri saya.

"Tapi dia masih gabung liqo?"

"Iya. Tadi datang ditemani adik iparnya."

Jadi, tak ada masalah, kan?

***

Tim outbond yang memandu kegiatan sudah sibuk sedari tadi, menyiapkan permainan-permainan kreatif edukatif yang akan digunakan.

"Bunda sedih, ya?"

"Ayah bayangkan sendiri, ya. Mbak Dilla itu sahabat, saudara se-liqo. Terlalu banyak kenangan indah yang tak mungkin terlupakan."

***

3 Januari 2013 11:30 WIB

RSI Klaten. Ruang Mina nomor paling ujung.

Saya biarkan istri masuk ke ruangan di mana Mbak Dilla dirawat. Saya sendiri duduk di tikar yang digelar di depan pintu. Ditemani ayahanda Mbak Dilla.

"Kamar Mina nomor-nomor paling belakang adalah kamar untuk pasien dengan kondisi serius," kata lelaki sepuh yang terlihat tegar itu.

Saya hanya bisa memperlihatkan segenap keprihatinan. Saya yang memang pada dasarnya tak suka banyak bicara, lebih senang mendengarkan lelaki di depan saya ini berbicara.

"Setelah dioperasi, kondisi Dilla makin memburuk hari demi hari."

***

Saya sebenarnya belum begitu familiar dengan wajah Mbak Dilla. Hanya sepintas lalu saya bisa mencoba mengingat wajahnya. Maklum, bisa dihitung bilangan jari pertemuan dengannya. Hanya ketika liqo di rumah kami. Itu pun tak begitu saya perhatikan. Teman liqo istri saya kan tidak cuma satu-dua orang. Dan semuanya tidak saya kenal kalau tidak istri yang menyebutkan namanya. Liqo di rumah si fulanah, lalu di rumah si fulanah. Dan saya tak begitu berminat mengingat nama-nama fulanah itu.

"Yah, tolong cek email. Mbak Dilla kirim surat, minta dibacakan waktu liqo." SMS dari istri saya. Saya masih di tempat kerja. Dan memang tepat waktu, kebiasaan buruk saya memanfaatkan akses internet gratis melalui PC kantor memungkinkannya. "Sekalian tolong diprint ya, Yah."

Surat pamitan yang dikirim Mbak Dilla. Pasca menikah dan ikut suami di Jogja, memutus jalinan itu. Mbak Dilla tidak bisa lagi gabung liqoat bersama kelompok halaqah istri saya.

Air mata mewarnai pembacaan surat itu ketika liqo berlangsung. Akankah kehilangan seorang Mbak Dilla untuk selamanya?

***

Outbond berakhir waktu Zuhur. Kami pulang dengan wajah ceria para santri yang puas dengan kegiatan hari ini.

"Dedek biar ikut Mbah Uti. Kita takziah dan menunggu sampai acara pemakaman, ya, Yah?"

Saya mengangguk. Saya sentuh bahu istri saya. "Iya. Yang sabar, ya, Say...."

***

"Mbak Dilla dikuret, Yah. Kandungannya keguguran." Laporan update dari istri.

Saya sering mendengar hal-hal seperti itu. Seorang wanita yang hamil bisa keguguran dan harus dikuret untuk mengeluarkan janin yang sudah tidak bernyawa dari rahim sang ibu. Mungkin karena bukan dialami istri sendiri, kabar itu tak begitu mengganggu saya, meski memunculkan iba di hati. Tapi kisah bergulir dari bibir bidadari saya selanjutnya membuat rasa iba itu kian menjadi.

"Kasihan Mbak Dilla. Sebelum akhirnya dikuret, Mbak Dilla sempat selama 5 hari tersiksa kesakitan pada kandungannya. Tapi suaminya masih menunda-nunda saat Mbak Dilla meminta diperiksakan."

Kekerasan dalam berumah tangga. Dan korbannya seringkali adalah pihak istri yang tak berdaya. Suami sang pelindung pengayom menjadi momok dalam kehidupan istri.

"Yang lebih gila," lanjut istri saya, "saat keluarga Mbak Dilla meminta untuk merawat, eh lelaki itu malah bilang ke Mbak Dilla, mau nurut suami atau ikut orangtuanya? Kalau mau ikut orangtuanya untuk dirawat, maka ia tidak akan menjenguk sampai ia sehat untuk dimintanya kembali. Atau menurut suami dan akan dibawa periksa besok hari?"

Dan itu memang gila. Lebih gila, kata istri saya.

***

Saya masih belum begitu ingat wajah yang mana yang disebut wajah Mbak Dilla. Hanya saya agak ingat sewaktu Mbak Dilla mengantar jemput istri saya untuk acara kajian ke Tawangsari. Jujur saya penasaran, Mbak Dilla itu yang mana ya? Tapi sudahlah. Itu bukan syarat wajib untuk menyolatkannya. Di belakang imam, tetap saya doakan sepenuh hati sahabat istri saya itu.

"Allohummaghfirlahaa warhamhaa wa'afihi wafuanhaa...." Semoga Allah menempatkanmu bersama orang-orang shalih, Mbak Dilla.

Langit mencurahkan kasih dan cinta menyambut jiwa tenang, tetes-tetes bening mengalirkan kedamaian ke muka bumi.

***

Di tempat kerja, 14 Januari 2013

Saya membuka akun Facebook, menuntaskan kepenasaran akan wajah Mbak Dilla, dengan mendatangi dinding Facebook Mbak Dilla. Saya buka album foto dan melihat deretan foto yang ditandai sebagai Mbak Dilla. Hanya foto-foto kebersamaan dengan teman-temannya semasa kuliah.

Wajah itu adalah wajah yang ceria. Bahkan saya tak menemukan gurat sedih pun pada senyumnya. Selamat jalan, Mbak Dilla.


***

"Mbak Dilla kurus sekali, Yah."

Kami menelusuri lorong RSI Klaten menuju ke area parkir.

"Panas badannya masih tinggi. Dan selalu mengatakan kepalanya pusing. Bunda hampir nangis di sana. Bunda tahan."

"Semoga lekas sehat, ya, Bun."

"Amin." Istri saya terlihat sangat sedih. Saya bisa memahaminya. "Ayah tadi ngobrol apa sama bapaknya Mbak Dilla?"

"Beliau cerita banyak hal. Tentang operasi Mbak Dilla. Kasihan sekali, belum lama berselang dari kuret, Mbak Dilla harus menjalani operasi. Awalnya, setiap makanan masuk ke perut selalu muntah keluar. Ketika operasi berlangsung, pihak keluarga diperlihatkan keadaan ususnya yang lengket, yang mengakibatkan makanan tak bisa masuk ke pencernaan."

Apa yang saya dengar dari ayahanda Mbak Dilla adalah kisah duka sang anak yang menyempurnakan separuh dien, menjadi istri seorang lelaki yang tak mengerti bagaimana menjadi suami yang baik. Yang hanya mengerti bahwa apa yang ia pahami tentang agama adalah yang harus diterapkan. Tanpa tedeng aling-aling. Tanpa memedulikan bagaimana aplikasinya menciderai perasaan istri, bahkan keluarga besar istri. Yang ia tahu, pemahamannya adalah paling benar. Ia tak peduli ada hati yang tersiksa karenanya.

Mbak Dilla tidak boleh bekerja lagi, harus di rumah. Penghasilan suami yang belum bisa disebut cukup sudah berani dipaksakan untuk merumahkan sang istri. Mbak Dilla yang lulus S1 belum benar-benar menikmati hasil belajarnya untuk sekedar bekerja sebelum nantinya punya anak dan jadi ibu rumah tangga. Dia menuruti kehendak suaminya itu.

"Di rumah, ibaratnya makan apapun tak perlu dibatasi. Tapi setelah ikut suami, makan hanya cukup hitungan 3 kali sehari dengan porsi dicukup-cukupkan. Lauk yang jauh dari standar gizi." Masih terngiang jelas kata-kata ayahanda Mbak Dilla.

Padahal Mbak Dilla tak pernah punya riwayat sakit serius. Dulu, ia adalah akhwat ceria. Bungsu yang dimanja karena satu-satunya perempuan di antara kakak-kakaknya yang laki-laki semua.

***

Belum genap seminggu sepeninggal Mbak Dilla.

Istri saya mengikuti kajian tahsin berangkat bersama Mbak Ani, salah satu teman liqo yang kebetulan tetangga dekat Mbak Dilla. Perjalanan berboncengan mereka sampai pada pembicaraan tentang sahabat hati keduanya. Detik-detik menjelang Allah mengutus Izrail menjemputnya untuk dijaga dalam ketenangan-Nya.

"Yah," kata istri saya sepulang kajian. "Sebelum meninggal, Mbak Dilla bisa mengucap takbir dan tahlil. Dituntun salah satu kakaknya."

"Suaminya?"

"Katanya sih, saat mendekati kritis, ketika ditunggui suaminya, Mbak Dilla masih bisa menggerakkan tangan menyingkirkan sentuhan suaminya sambil bilang kalau ia butuh ketenangan."

Dan engkau tidak mendapatkan itu pada sentuhan suamimu, Mbak? Hingga Allah memilih menjagamu sendiri, dengan mengambilmu dari lelaki itu?

"Allah sangat menyayangi Mbak Dilla," simpul istri saya. "Dia tak mau Mbak Dilla sedih lagi."

Saya peluk istri saya sepenuh cinta.

***

#TantanganKelasFiksi
#CerpenTanpaSaltik

Get notifications from this blog

Jangan lupa beri komentar, ya... Semoga jadi ajang silaturahim kita.