Melukis Rindu
Untuk kekasih hatiku
di taman Firdaus
Puji syukur pada Allah, yang telah melimpahkan cinta seluas samudera untuk kita.
Apa kabarmu, kekasihku? Aku rindu padamu. Kerinduan teramat sangat. Yang menggetarkan tiap detik hidupku. Tahukah engkau, sepeninggalmu aku tak bisa lagi menjumpai yang sebaik dirimu. Tak ada lagi bagiku tempat ber-uswah selain padamu. Kadang tergugu aku sepeninggalmu ....
Kekasih, aku merasakan berat langkah-langkahku. Tertatih aku mencoba napak tilas perjuanganmu. Mencoba menjadikan diri seperti akhlakmu, sebagai wujud kecintaanku. Oh, andai engkau masih di sini, masih bisa membimbing langsung padaku. Aku sungguh rindu pada kebijaksanaanmu, juga kasih-sayangmu.
Aku selalu ingat pesanmu untuk selalu berpegang teguh pada dua tali asih yang engkau tinggalkan. Keduanya telah cukup untukku. Namun terlalu sering godaan melalaikan aku untuk menetapi keduanya. Kekasih, mengapa engkau tega meninggalkanku di saat-saat kerapuhan zaman seperti ini? Aku takut jika nanti kecintaanku padamu hanya sebatas mimpi. Aku terlalu sering terbawa arus. Aku kerap kali terlena pada dunia yang dalam hidupmu tak pernah kau ajarkan untuk mencintainya. Aku sungguh masih ingin belajar banyak padamu untuk memaknai cinta sejati.
Kekasihku, andai engkau ada di sini, aku ingin berkeluh langsung padamu. Tentang perjuanganku yang tak seberapa dibanding perjuanganmu dulu. Aku masih berusaha bersungguh-sungguh dalam mencintai perjuangan ini. Sebuah perjuangan dakwah di kampung kecilku yang mulai terusik efek negatif perkembangan zaman.
Kekasihku, aku masih terus berusaha menjadi pendidik yang baik. Engkau tahu, masa depan Islam dan bangsa ini ada di tangan generasi muda, dari itulah aku selalu berusaha gigih mengelola kegiatan di masjid kampungku. Aku masih mengurusi TPA, tempat anak-anak belajar membaca Alquran, mengeja huruf hijaiyah dari a-ba-ta sampai ya. Dari tatapan-tatapan polos mata lugu mereka aku melihat ke masa depan. Menyaksikan betapa terjalnya jalanan yang harus mereka tempuh nanti. Dimana kesiapan akidah dan akhlak harusnya lebih dimantapkan lagi. Aku takut mereka tergerus zaman, terbawa arus globalisasi tanpa ada perlawanan berarti. Aku takut mereka turut pergaulan hedonisme hingga benar-benar lalai padamu. Kekasih, ajari aku bagaimana mendidik mereka sebaik mungkin ....
Seperti anjuranmu, aku juga menyayangi anak-anak didikku di TPA. Aku tak membeda-bedakan mereka. Aku anggap sama, sebagai generasi Islam yang harus dikokohkan dalam keilmuan. Memang, aku sendiri belum sempurna dalam memahami ilmu dien. Aku janji padamu, akan terus berusaha belajar dan terus belajar. Mengaji dan terus mengaji. Aku ingin engkau mencintaiku seperti aku mencintaimu. Bukankah sebaik-baik diantara manusia adalah yang belajar Alquran dan mengajarkannya. Ya, itu cukup menyemangatiku untuk menetapi jalan indah ini. Suka dan duka, susah dan mudah, semua kujadikan warna indah seperti pelangi seusai hujan reda. Seindah itu. Seindah harapanku untuk bisa berjumpa engkau di jannah nanti. Kekasih, aku makin mabuk rindu padamu ....
Aku malu setiap kali merasa kelelahan berat diantara kesibukan duniawiku hingga sempat mengesampingkan dakwah, padahal perjuanganmu (jauh) lebih besar lagi. Aku tak pernah dihujat. Aku tak pernah dilempari batu saat berdakwah. Aku tak pernah dihujani kotoran onta saat berjuang. Aku tak pernah berperang langsung melawan kaum kufar sepertimu. Tapi aku sering mengeluh. Betapa malunya padamu, kekasihku ....
Kekasihku, kau begitu agung dengan kesederhanaanmu. Aku begitu hina dengan duniawi yang kuburu. Malu aku jika ingat semua itu. Betapa jauh pribadiku dengan akhlakmu. Betapa tak seberapanya aku dibandingkan sosokmu. Aku membayangkan, jika nanti bertemu engkau, apa berkenan engkau memandangku. Atau sekedar mengerlingku ....
Kekasihku, semakin kutiti lembaran shirah-mu, makin tampaklah keelokan pribadimu. Makin terbukalah mataku betapa kerdilnya aku, betapa tak layaknya aku untuk memasuki jannah. Kau yang sudah dijamin Allah masuk surga dan diampuni segala kesalahanmu saja masih tetap bangun sholat malam. Apa denganku? Dengkuranku mungkin sudah memenuhi hitungan waktu dalam sejarah usiaku. Kekasihku, ajari aku meniti keikhlasan dalam berbakti.
Kekasih ..., aku tak kuasa lagi menahan rindu dendam ini. Sudilah kiranya kau hadir di mimpiku. Ingin kupeluk dirimu. Ingin kucurahkan segala kasih untukmu. Aku rindu wajah teduhmu yang sanggup menerbangkanku ke langit kebahagiaan. Aku haus senyum sedekahmu yang bisa meruntuhkan segala iri dan dengki. Oh, kunjungilah aku yang dahaga akan kebijaksanaan ini, kekasihku ....
Kekasihku, saksikanlah aku berjanji. Aku akan selalu berusaha semampuku menekuni jalan cahaya ini. Sesukar apapun. Aku memohon kepada Allah Mahacinta untuk melimpahkan hidayah-Nya padaku. Agar aku mampu istiqamah selalu. Agar tak mudah aku terkecoh tipu daya setan terkutuk.
Kekasihku, hari ini 12 Rabiul Awal, hari lahirmu. Aku tahu kau tidak pernah mengistimewakannya. Aku hanya ingin berusaha lebih lagi dalam mencintaimu. Di penghujung curahan rasa ini, aku sangat berharap nantinya bisa masuk dalam keberuntungan ummatmu yang mendapat syafa'at darimu. Kekasihku, damaikan hatiku sedamai engkau di sisiNya. Biar kusimpan rindu ini untukmu. Sampai nanti kita bertemu (kabulkan ya Allah, kabulkanlah ...!). Aamien ya Robbal 'alamien.
Salam rindu dariku, hamba Allah yang dhaif.
Suden Basayev.
Get notifications from this blog
Visi akhirat ya mas Suden. Moga terkabul
BalasHapusAamiin
Hapus