Membujuk Perpisahan
Perpisahan, kami akan membujukmu agar tidak sesedih ini.
"Mengapa harus ada aku di sini?" tanyamu.
Kutatap Mab yang mengajakmu ke ruangan ini. Seolah aku pun berharap perempuan itu memberikan penjelasannya padamu yang bertanya, sekaligus padaku dan pada seluruh yang hadir dalam ruangan ini, yang sebenarnya punya tanya serupa.
"Mengapa semua seakan menyalahkanku?" tanya Mab. Perempuan itu menatap kami satu persatu. "Ruangan ini ada dan memang dari awal diniatkan untuk sementara waktu. Ada rumah besar yang bisa kita gunakan untuk berkumpul."
"Tidak, Mab, akulah kesalahan yang seharusnya dipermasalahkan. Tidak akan begini jika aku tidak ada," katamu mencoba membela Mab.
"Tapi aku yang mengajakmu kemari. Dan ini harus," sahut Mab atas belaanmu padanya yang tidak dia harapkan.
Matamu berkaca-kaca. Aku jadi serba tidak nyaman. Aku sebenarnya juga berat jika harus meninggalkan ruangan ini.
Rahayu yang duduk di pojok ruangan berdiri. Mab menoleh padanya. Dilihatnya mata Rahayu pun sudah mengambang bening. Tapi tidak, Rahayu menunjukkan kedewasaannya. "Mab, aku berterima kasih padamu sudah menempatkanku di ruangan yang akan tinggal kenangan ini. Sekaligus aku menyadari sering teledor dan merepotkan. Maafkan aku."
Mab hanya mengangguk. Kembali ditatapnya seluruh penghuni ruangan ini satu persatu. "Sebelum malam tiba, kalian harus meninggalkan ruangan ini."
"Maafkan aku, ya...," kamu masih menyalahkan diri. Meski tidak seharusnya kamu merasa menjadi satu-satunya penyebab kesedihan yang mengepung ruangan ini.
Kucoba melihat sahabat-sahabatku. Lihatlah, mereka semua bersedih. Kentara sekali betapa berartinya ruangan ini bagi mereka. Uky sesenggukan. Perempuan yang selalu berusaha menjadi nomer satu dan sering berebut tempat denganku ini terlihat terpukul sekali.
Di samping Mab, terlihat Heru juga menyusut air mata. Ahli sejarah itu pun merasakan hal sama. Kesedihan. Meskipun baginya, kesedihan adalah sebuah bagian dari kehidupan, yang sejarah selalu mencatatnya beriringan dengan kesenangan.
Di sebelahku, Auf merah matanya. Tangis yang ditahannya tetap tak bisa menyembunyikan kesedihan yang teramat. Auf menatap padamu. Mungkin ia menyalahkanmu. Aku gelengkan kepala padanya agar tidak menjadikanmu sebab segala kesedihan ini. Kamu menunduk. Aku tahu, kamu pun sedih, meskipun Mab membawamu ke ruangan ini adalah sebuah keharusan.
"Aku tidak kuasa kalau harus keluar ruangan ini," Uky berkata lirih. Mab memandangnya. Melihat pandangan Mab yang entah apa maknanya itu, Uky serba salah. Lekas ia coba bercanda sedikit, canda yang gagal: "Em..., aku nunggu digusur, biar dapat uang gusuran."
Kutelan ludah. Uky, candaannya sama sekali tidak lucu, tidak mungkin bisa mengubah suasana jadi ceria lagi. Tapi kuapresiasi usahanya ini.
"Sebaiknya tidak perlu ada ruangan-ruangan kecil seperti ini lagi. Semua fokus ke rumah besar. Paham?" Mab menekankan.
Aranta yang duduk di samping Uky, mendekati Mab. Lalu berkata penuh haru, "Aku hanya bisa menyampaikan terima kasih atas segala bimbingannya."
Mab mengangguk. Rupanya ia senang ada yang mulai maklum pada keputusannya membawamu ke ruangan ini.
"Oke, oke. See you semuanya," suara Ik. Jago fiksi ini tidak suka berlama-lama dalam suasana sedih. Ia memilih melipir keluar ruangan duluan, setelah menyalamimu.
Disalami Ik, kamu makin bersedih. Kamu tidak melihat, kan, betapa lelehan bening di pipimu sudah menganak sungai? "Maafkan aku, ya," katamu lagi.
Seharusnya kami lebih fokus membujukmu agar tidak terbawa kesedihan seperti ini. Tapi kami sendiri sedang sibuk membujuk diri. Maafkan kami juga yang tidak sanggup membujukmu.
"See you again, Ik," hanya Mab yang menanggapi ucapan perpisahan itu. Entah terbuat dari apa hati perempuan ini. Ia cukup tegar meski kami tahu, di lubuk terdalam hatinya pasti juga berat meninggalkan ruangan ini. Mab menatapmu, seolah tidak suka dengan lelehan di pipimu.
Auf mulai maklum juga rupanya. Sebelum ia mengikuti langkah Ik keluar, ia menyampaikan sebuah pesan terakhir, "Masalah dan musibah yang dirasa sebagai ujian terberat dalam hidup, mungkin adalah kejadian terbaik yang akan disyukuri nantinya. Itu yang membawa kita kembali ke jalan-Nya."
Dwi yang sedari tadi tepekur di samping Auf mengaminkan saja kata-kata Auf. Ia menatap Mab tegar. "Terima kasih atas ilmu dan kesempatan di ruangan ini. Aku juga mohon maaf segala khilaf."
Kulirik kamu sudah menyusut air mata. Kamu senang, kan, kami sudah mulai bisa memaklumi kehadiranmu di ruangan ini?
Tiba-tiba ruangan dikejutkan dengan suara tangisan dari perempuan yang duduk dekat jendela. Nisa rupanya. Perempuan baperan dan sok lebay ini menumpahkan air mata sejadi-jadinya.
Kami semua hanya bisa diam membisu. Sampai Nisa menyudahi tangisan dengan sebuah kebesaran jiwa. Katanya pada Mab, "Sangat menyedihkanku, tapi apa dayaku. Terima kasih atas segala kebaikan dan kesabarannya. Terima kasih atas waktu dan ilmunya. Semoga Allah membalas dengan keberkahan. Terima kasih atas kebersamaan dan persaudaraannya. Semua kenangan di ruangan ini akan tetap di hatiku. Hiks.... Jangan paksa aku keluar sekarang. Aku akan keluar ruangan ini nanti malam. Berat sekali kutinggalkan."
Tea mencoba menghibur. "Well, mengapa jadi mellow, ya? Sudahlah, meski aku juga sedih tidak bisa lagi menjumpai canda-canda di ruangan ini lagi. Terima kasih semuanya."
Laras dan Lilik yang sedari tadi terdiam, mulai bisa memahami semua yang terjadi. Hampir serempak keduanya berkata, "Terima kasih, meski dengan berat hati keluar dari ruangan ini."
Melihat sebagian besar kami sudah bisa memaklumi kehadiranmu di ruangan ini, kulihat senyumanmu. Senyuman yang kamu paksakan demi memupus sedih yang dalam. "Syukurlah, kalian semua mengerti dan menerima keberadaanku," katamu.
Mab tersenyum. Tapi kulihat senyumannya lebih tulus dari senyumanmu. Mab lega karena tidak salah membawamu ke ruangan ini dan akhirnya semua bisa maklum.
Hari ini, satu persatu kami meninggalkan ruangan penuh kenangan tak terlupakan ini. Dan kamu tidak perlu lagi menyalahkan diri sendiri. Kami semua sudah bisa menerima kehadiranmu. Tidak perlu lagi membujukmu, Perpisahan.
"Mab, kamu kuat sekali. Apa kamu tidak sedih dengan semua ini?" tanya Nova setelah semua keluar.
"Tidak, Nova. Justru aku merasa paling sedih dari pada mereka. Tapi aku mencoba tegas di depan mereka," jawab Mab. Memang bening mulai mengambang di sudut mata perempuan tangguh ini.
"Aku salut padamu, Mab."
"Sudahlah, Nova, semua sudah ditakdirkan harus begini. Kamu tahu, kan, banyak kenangan indah di ruangan ini."
"Tentu saja."
"Dan satu yang tidak akan bisa kulupakan selamanya."
"Apa itu, Mab?"
"Kenangan tentang Teddy Syah."
Tidak ada yang perlu menyalahkanmu, Perpisahan. Kamu ada karena kami pernah menghadirkan Pertemuan di ruangan ini. Kamu pun tidak perlu juga merasa menjadi penyebab dua perempuan itu berpelukan sambil menangis menumpahkan segala sedih.
Tak perlu lagi membujukmu, Perpisahan.
***
Tuinggg!
EPILOG
Grup Kentang resmi dibubarkan. Terima kasih buat semua pije atas segala kebaikan yang tidak bisa disebut satu demi satu. Semoga semua jadi amal jariyah pije sekalian, yang ilmunya bermanfaat dan senantiasa mengalirkan pahala berlipat ganda. Maafkan saya dan segala ulah saya yang mungkin menjengkelkan kalian.
Hormat saya, Suden Basayev (Wakhid Syamsudin)
Tulisan di atas jangan dianggap serius, ya, maaf jika pada tersinggung. Kalian kan baik hati dan suka memaafkan...
Get notifications from this blog
Awalnya :( akhirnya:D
BalasHapusSuper mas wakhid!!!
Teddy Syah ikut2an aja ya, heran.. hehehe
HapusMaafkan aku mbak Mab, aku tak bermaksud.
HapusSedih bacanya...tapi kereen
BalasHapusMaafkan bikin baper...
Hapusah... keren euy (y) two thumbs up, mas! !
BalasHapusTetap rutin masak kentangnya ya mas Dwi...
HapusPerempuan baperan dan sok lebay??? predikat yang kusandang menyedihkan sekali wkwkwkwkwk...
BalasHapusAmpuuunn...
HapusSuperrrr sekali
BalasHapus:p
HapusBeginian aja bisa jadi cerita duuhh.. gimana sih bikinnya😁
BalasHapusDiketik pake hati. Hihihi...
HapusWauw kriuk nih olahan kentangnya. Bagi resep yah kak
BalasHapus(c)
Hapusmakasih kan fery...
BalasHapussatu kata:
BalasHapusTERHARU :(
Sudah, sudah...
Hapus