Kecelakaan (9)
KECELAKAAN
Suden Basayev
Cerita Bersambung bagian 9
Aku tersentak mendengar nama yang disebut oleh tamu yang tidak sopan itu. Ibu Sovia?! Bapak berurusan lagi dengan Ibu Sovia?!
"Ayo, kita tinggalkan rumah ini!"
"Ayolah, buat apa berlama-lama."
Kedua lelaki berjaket hitam itu lekas keluar dari ruang tamu. Aku masih terbawa keterkejutanku ketika motor yang mereka naiki mulai menderu, menjauh dari halaman rumahku. Mas Suden, mengapa hari Minggu-ku kali ini sangat tidak menyenangkan?
Aku kembali ke kamar. Terduduk lunglai di tepi ranjang. Mas Suden kenal nggak sama Ibu Sovia yang disebut oleh tamuku tadi? Teringat kembali kenangan beberapa bulan lalu, saat Ibu kecelakaan, harus dioperasi, dan meninggalnya beliau di rumah sakit. Lalu muncul nama itu... Ibu Sovia! Bapak belum pulang. Aku harus meminta penjelasan Bapak untuk semua ini.
Aduh, jahitan di tanganku kembali berdenyut sakit. Aku melenguh. Sebaiknya aku coba tidur saja, Mas Suden. Semoga sebangunnya dari tidur, nyut-nyutan ini berkurang. Dan tidak lama, aku sudah terlelap dengan mimpi yang indah. Dan aku bertemu Ibu di mimpiku. Seorang perempuan sabar yang mendampingi seorang suami seperti bapakku.
Waktu beranjak. Saat sore menapak, belum terlihat kepulangan Bapak. Apa mungkin Bapak menginap di Wonogiri? Atau malah sudah pulang tapi langsung ke pasar? Tidak ada nomer yang bisa kuhubungi. Aku bahkan tidak tahu, kutaruh dimana kemasan kartu perdana paketan yang sekarang nomernya dipakai Bapak.
Malam mulai menyelimuti, saat sepi makin mencekam. Aku sudah terbiasa sendiri, kok, Mas Suden. Tapi malam ini, aku tidur di rumah tanpa kepulangan Bapak dan tanganku berdenyut terus, entah mengapa. Sakitnya lumayan terasa. Ya sudahlah. Nikmati saja semua ini.
Bangun pagi, kurasakan sekujur tubuhku sakit semua. Sepertinya, benturan ke aspal kemarin mulai terasa efeknya. Luka jahitanku masih sedikit berdenyut. Tampaknya aku harus izin tidak masuk sekolah. Apalagi tidak ada motor. Bapak juga belum pulang.
"Ras, aku nggak masuk, tolong izinkan ke wali kelas, ya...," chat lewat WhatsApp ke Laras.
"Iya, Ky. Rehat dulu saja."
"Makasih, Ras."
Aku membeli nasi bungkus untuk sarapan. Malas mau masak. Apalagi Bapak juga belum tentu segera pulang. Saat makan pagi di depan televisi sendirian itulah, terdengar suara motor yang kuhafal, memasuki halaman rumah dan berhenti di serambi. Bapak pulang, Mas Suden.
Bapak masuk. "Kamu nggak sekolah, Ky?" tanya beliau saat menjumpaiku sedang sarapan. Ini sudah lewat pukul 8 pagi.
Aku belum menjawab saat Bapak terlihat terkejut mendapati lenganku diperban. "Kamu kenapa, Ky?"
Kuteguk teh hangat dulu, baru menjawab pertanyaan Bapak. Beliau mendekatiku segera. "Kemarin kecelakaan, Pak."
"Kecelakaan? Di mana?"
"Saat mau kelompok ke rumah Nisa."
"Lenganmu luka parah?"
"Dijahit, Pak. Lumayan. Sama lututku juga luka-luka."
"Motormu?"
"Di bengkel, Pak."
Bapak melepas jaket dan menaruh helm. Lalu kembali mendekatiku. "Maafkan Bapak ya, tahu begini Bapak tidak menginap di Wonogiri."
"Tidak apa-apa, kok, Pak. Tapi, ada yang mau aku tanyakan ke Bapak."
"Soal apa?"
Kutatap wajah Bapak. "Bapak berurusan lagi sama Ibu Sovia?"
Kentara sekali keterkejutan Bapak. Tapi beliau mengelak. "Kata siapa?"
Kuakhiri sarapan pada suapan terakhir. Lalu meneguk teh hangatku.
"Siapa yang bilang tentang Ibu Sovia? Kamu jangan suka asal percaya, Ky."
"Ada dua orang anak buah Ibu Sovia datang kemari, Pak. Kemarin siang. Mereka marah-marah. Mencari Bapak."
Bapak gusar, Mas Suden. Tidak mungkin beliau mengelak lagi.
"Belum lama kita berhasil lepas dari jeratan rentenir itu. Hutang besar demi mencoba menyelamatkan Ibu. Meski semua berakhir dengan meninggalnya Ibu."
Bapak terdiam.
"Bapak berhutang lagi padanya?"
Bapak menunduk. Aku berdiri. Membuang bekas bungkus nasiku ke tempat sampah. Saat mendekati Bapak lagi, beliau berkata, "Aku sudah bilang agar tidak menagih ke rumah. Rupanya mereka tidak menggubrisnya."
"Bapak mengaku, kan?" tanyaku.
Bapak mendesah. Saat itulah terdengar motor berhenti di jalan depan rumahku. Terlihat Pakde Ikhtiar berdiri menunjuk ke arah rumahku kepada si pengendara motor. "Itu rumahnya, Mas," kata Pakde Ikhtiar.
Pengendara motor itu turun. Melepas helm. Lalu memasuki pintu pagar halaman. Aku mengenalnya. Dia penabrakku kemarin, Mas Suden.
"Assalamualaikum...."
Bapak berdiri dari duduk. Lalu mendekati pintu, di mana penabrakku itu berdiri mengucap salam. Aku ikut mendekat.
"Waalaikumussalam. Cari siapa?" tanya Bapak lekas. Bapak masih membawa kegusarannya di depan tamu kali ini.
"Saya, ingin menemui Dik Uky, saya yang kemarin tidak sengaja menabrak Dik Uky," kata penabrakku yang bernama Mas Zen itu. "Panjenengan bapaknya Dik Uky?"
"Oh... jadi Uky kecelakaan karena kamu tabrak?"
"Iya, saya minta maaf."
"Berani ya, kamu kemari? Punya nyawa rangkap kamu?"
Aku terkejut dengan sikap Bapak. Mas Suden, kenapa ini? Bapak marah?
"Maaf..."
"Maaf? Kamu pikir maaf bisa menyembuhkan luka-luka anakku?!" sentak Bapak sambil mendorong bahu Mas Zen hingga terjengkang.
"Bapak!" seruku mencoba menahan.
"Maaf, Pak, saya...," Mas Zen berdiri, Bapak mendekatinya dengan amarah. Wah, gawat ini, Mas Suden!
Lekas kutarik tangan Bapak. "Sabar, Pak. Jangan gegabah!"
"Diamlah kamu, Ky. Biar Bapak beri pelajaran bocah tidak tahu diri ini!"
"Jangan, Pak."
Tapi tanganku tidak bisa menahan gerakan Bapak. Aku hanya bisa menjerit saat Bapak mencengkeram kerah jaket Mas Zen. "Ampun, Pak," Mas Zen berseru cepat.
Jatah 750 kata sudah lewat. Sudahi dulu, ya.
_Bersambung_
Get notifications from this blog
Jangan lupa beri komentar, ya... Semoga jadi ajang silaturahim kita.