Kecelakaan (7)
KECELAKAAN
Suden Basayev
Cerita Bersambung bagian 7
Mbak Nova segera menghidangkan dua gelas teh manis hangat untuk kedua orangtua Nisa. Sementara untuk Pakde Ikhtiar dibawakannya segelas kopi kegemaran beliau. Mas Suden nggak usah minum, ya, nanti nambahin repot Mbak Nova.
"Nah, silakan diminum dulu. Setelah minum baru bercerita," kata Pakde Ikhtiar mempersilakan.
"Iya, Om dan Tante, silakan minum dulu. Untung ada Mbak Nova yang tulus membantu saya menyiapkan minum. Silakan, jangan sungkan, kayak saya kalau di rumah Om dan Tante," kataku segera.
"Iya, Pakde, Uky. Terima kasih Dik Nova. Ayo, Mas Tran, diminum dulu," suara Tante Mabruroh. Lantas meminum teh bersama sang suami.
Beberapa saat setelah keduanya menikmati teh seduhan Mbak Nova, Nisa yang sudah tidak sabar mulai bertanya, “Ayolah, Pak, Bu, segera ceritanya.... Kita sudah menunggu dengan gundah gulana, apakah harus menanti lagi lebih lama?”
“Iya, iya, Nisa Sayang. Soal kenapa Ibu ikut sama bapakmu, kan setelah kalian pergi ke puskesmas, saya menunggu kabar lewat handphone. Tapi lama sekali tidak ada kabar. Lalu saya telepon bapaknya Nisa ini. Eh, Mas Tran bilang lagi ke bengkel ngurus motornya Uky. Lalu saya minta dijemput mau ikut jenguk Uky ke sini.”
“Jadi ketika Bapak jemput Ibu ke rumah, yang nabrak Uky kabur dari bengkel gitu? Wah, itu namanya tidak bertanggung jawab. Seharusnya Bapak tidak boleh ceroboh begitu. Harusnya, Bapak menunggu sampai urusan selesai, baru menjemput Ibu,” sambar Nisa dengan dugaan-dugaannya. Dia memang pintar berhayal, Mas Suden. Sayang, apa saja dia hayalkan, padahal belum kelar cerita ibunya.
“Nisa, sabar dulu, jangan dipotong cerita Tante,” protes Nining di sebelahnya.
“Iya, tuh, kebiasaan!” tambah Laras.
“Nisa, kamu tahan dulu ngomongnya. Cerita belum selesai. Jangan suka menduga-duga seperti itu,” nasehat Om Teddy Syah.
“Iya, iya...,” sahut Nisa sedikit kesal juga.
“Sekarang dengarkan Mas Tran yang akan bercerita,” kata Tante Mabruroh sambil mempersilakan Om Teddy Syah agar meneruskan penjelasannya.
Kami pun terdiam, bersiap menerima penjelasan dari bapaknya si Nisa ini.
“Setelah kita pisah di puskesmas, ya sesuai rencana, saya sama Mas Zen yang nabrak Uky, menuju ke lokasi kecelakaan. Motor Uky diamankan di rumah warga terdekat. Kami ambil segera. Mesinnya nyala, hanya body rusak cukup parah. Untung ada bengkel dekat situ yang buka.”
Om Teddy berhenti sejenak. Disela dengan meneguk teh manis dulu sebelum melanjutkan. Beliau memang beda dengan Tante Mabruroh dan Nisa yang betah ngomong panjang lebar. Jadi wajarlah, baru cerita sedikit saja sudah harus dijeda minum.
Nisa hampir bersuara kalau tidak ditarik tangannya sama Nining. Nining memintanya bersabar. Nisa menurut.
“Motor dicek sama tukang bengkelnya. Saat itulah, Mas Zen berkata pada saya, bahwa dia mau pamit dulu.”
“Tuh, kan... dia kabur?!” sambar Nisa tidak sabar dengan lambannya si bapak bercerita.
“Jadi bener cowok itu pergi begitu saja, Om?” tanyaku.
Om Tran alias Om Teddy Syah tidak langsung menjawab. Beliau mengeluarkan sesuatu dari saku baju. Lalu menaruhnya di atas meja. Selembar KTP.
“Dia berubah jadi KTP?” tanya Nisa tersentak. Lebay ini mah....
“Maksudnya apa ini, Om?” ikut bertanya Laras tidak sabar.
“Mas Zen pamit, katanya ada kepentingan yang mendesak sekali. Dia meninggalkan KTP sebagai jaminan bahwa ia bertanggung jawab.”
“Terus... terus... terus...?” Pakde Ikhtiar rupanya ikut penasaran.
“Buat apa dia ninggalin KTP?” tanyaku.
“Dia janji untuk perbaikan motor sama kontrol kamu, akan dibayarnya,” kata Om Teddy sambil memandang ke arahku. Aku mengangguk paham.
“Om percaya begitu saja?” tanya Laras.
“Justru karena Om tidak langsung percaya, makanya dia ninggalin KTP sebagai jaminan pertanggungjawabannya,” jawab Om Teddy.
“Kalau dia tidak kembali lagi bagaimana?” tanya Nining.
Tumben Nisa diam tuh. Mingkin memberi kesempatan yang lain untuk bertanya pada bapaknya.
“Tapi kalau Om lihat gelagat Mas Zen itu, kayaknya sih orangnya jujur. Mungkin memang sedang ada urusan yang tidak bisa ditunda. Ya sudah, Om terima KTP dia. Motor Uky ditinggal di bengkel mau dibenerin sama tukang bengkelnya. Lalu Om jemput ibunya Nisa. Terus kemari.”
Pakde Ikhtiar mengangguk-angguk. “Menurut saya, dia tetap akan kembali. KTP itu tidak sembarangan ditinggal-tinggal. Artinya, dengan meninggalkan KTP, maka dia akan kembali.”
“Benar juga pendapat Pakde,” Om Teddy setuju. “Untuk itu, KTP Om serahkan sama Uky.”
“Biar di meja situ, Om,” kataku.
“Mas Zen juga meminta alamat rumah kamu kok, Ky. Berarti memang ada itikad baik. Tidak usahn khawatir.”
Aku mengangguk. Pendapat Pakde Ikhtiar dan keterangan Om Teddy menurutku sih cukup untuk meyakinkan bahwa penabrakku memang bertanggung jawab. Benar, nggak, Mas Suden?
“Dan barang kali, kita tidak bisa berlama-lama di sini, Uky, Pakde Ikhtiar, Dik Nova....,” kata Om Teddy.
“Kalian mau pulang?” tanya Pakde Ikhtiar.
“Iya, Pakde. Yang penting Uky selamat, tidak harus dirawat di puskesmas. Saya sama Mas Tran mau pamit dulu,” sambung Tante Mabruroh.
“Ya sudah kalau begitu,” kata Pakde Ikhtiar. “Ada Nova yang bisa menemani Uky di rumah ini, sambil menunggu bapaknya pulang.”
_Bersambung_
Get notifications from this blog
Terus terus
BalasHapusTerusin, Mbak...
HapusAda sedikit typo kayanya mas...
BalasHapusMakasih koreksinya lwt WA, udah saya beresin. Teliti juga kamu, Nis. Makasih....
HapusWkwkwk kereen, mas zen tersangka nih
BalasHapusWkwkwk... tau tuh!
Hapus