√ Kecelakaan (5) - Halaman Rumah Syamsa

Kecelakaan (5)


KECELAKAAN
Suden Basayev
Cerita Bersambung bagian 5


Aku sempat terlelap beberapa saat, Mas Suden. Tapi suara canda Nisa yang mengobrol dengan Pakde Ikhtiar sempat mengusik ke alam bawah sadarku. Kubuka mata, terlihat olehku Mbak Nova menunggui di kamar.

"Mbak Nova di sini dari tadi?" tanyaku merasa tidak enak hati.

"Iya, Ky. Nggak tega saja lihat kamu sakit berbaring sendirian," jawab Mbak Nova sambil tersenyum. Duh, jadi teringat kasih-sayang seorang ibu. Kalau ingat Ibu aku jadi sedih, Mas Suden.

"Terima kasih, Mbak. Aku sudah terbiasa sendirian. Aku malah takut bikin repot Mbak sama Pakde."

"Kamu tuh sudah kayak adikku sendiri, Ky. Rasanya nggak tega lihat kamu begini."

"Mbak Nova bikin aku terharu. Terima kasih atas perhatiannya, Mbak."

Mbak Nova senyum lagi. Cantik sekali, ya, Mas Suden. Senyum tulus dari gadis sederhana yang menyejukkan. Senyum yang bisa menginspirasi para pujangga untuk menggubah syair. Mas Suden nggak minat bikin puisi tentang senyumannya? Hahaha, bercanda, Mas. Aku tahu puisi Mas Suden berantakan kok!

"Kamu mendadak lebay, Ky. Tumben saja seorang Uky bawa-bawa perasaan."

Aku tersenyum dengar komentar Mbak Nova itu. "Aku pengin keluar, Mbak. Rasanya lebih nyaman ngobrol sama sahabat-sahabatku dari pada tiduran begini."

"Ya sudah, kita gabung sama mereka. Bapak sedari tadi asik saja sama sahabat-sahabatmu itu. Dengerin tuh, guyonan mereka tak habis-habis."

Aku bangun. Duduk sebentar. Baru kemudian berjalan agak tertatih didamping Mbak Nova. Lututku serasa kaku dan perih.

Melihat aku muncul, Nisa langsung berdiri menyambut. "Eh, kamu nggak tidur saja, Ky? Hati-hati jalannya. Aturan kamu istirahat saja. Kan orang sakit itu sebaiknya banyak-banyak tidur, bukan malah gabung ngobrol kemari. Lagian kan kamu habis minun obat, biasanya habis minum obat bawaannya mengantuk."

"Mana bisa tidur, suaramu memenuhi jagad begitu, Nis," komentar Nining sambil tertawa kecil.

"Nggak apa-apa. Enakan gabung mengobrol di sini. Canda kalian kan penyembuh duka dan lara," kataku sambil mencoba mengajak bercanda.

"Betul juga, Ky. Apalagi suara merduku, bisa menawarkan segala racun. Bahkan kalau aku bernyanyi, maka akan banyaklah pendengar yang tenteram hatinya," kata Nisa dengan nada serius.

"Yang benar? Suaramu begitu berkhasiat?" Pakde Ikhtiar yang menanggapi dengan kagum.

"Halah, Pakde, jangan dianggap serius si Nisa mah. Dia cuma bercanda, kok," Laras mencoba menyadarkan Pakde Ikhtiar, agar tidak terkena pengaruh kata-kata Nisa lebih dalam.

"Tapi bener lho. Apalagi yang soal menyanyi, kalian bisa membuktikan. Mau lagu apa? Lagu Indo, luar, atau soundtrack drama korea. Pilih saja akan kunyanyikan."

"Tidak, tidak usah, Nis. Kami percaya saja, nggak perlu nyanyi di sini!" cegah Nining segera.

"Nyanyi satu lagu saja bolehlah, Nis," pinta Pakde Ikhtiar.

"Aduh, nggak usah lagi, Pakde. Bisa kacau dunia!" cegah Laras.

"Pakde minta lagu apa?" tanya Nisa bersemangat.

"Wuyung bisa?" tantang Pakde Ikhtiar.

"Wuyung itu penyanyi apa judul lagunya, Pakde?" Nisa kernyitkan dahi.

"Hahaha. Iya, deh, kalau nyanyi Wuyung, aku mau ikut dengerin," Laras menanggapi sambil tertawa.

"Emang kamu tahu lagunya, Ras?" Nisa menoleh Laras.

"Bapak ini ada-ada saja," suara Mbak Nova. "Sudahlah, Nis. Dikerjain Bapak kamu. Anak zaman sekarang mana tahu lagu Wuyung...."

Lihat, Mas Suden, Nisa malah kebingungan dengan tantangan lagu dari Pakde Ikhtiar. Mas Suden tahu nggak lagu Wuyung? Kalau Nisa yang nggak tahu wajar, kalau Mas Suden yang nggak tahu, namanya kebangetan!

"Kalau nggak bisa ya sudah, tidak apa-apa. Pakde cuma ngetes, kamu tuh tahu apa tidak lagu Jawa," kata Pakde Ikhtiar sambil menyeruput kopi tetes-tetes terakhir.

"Pakde mah gitu... ngerjain Nisa, ya?" Nisa cemberut lucu. Kami malah tertawa melihatnya. Nisa memang selalu menyegarkan suasana. Selalu betah berada di dekatnya.

Obrolan kami berhenti sejenak saat terdengar suara motor masuk ke halaman rumahku, lalu berhenti. Kami lekas menengok ke luar lewat pintu yang tak tertutup. Rupanya yang datang bapaknya si Nisa.

“Om Teddy datang tuh,” Laras yang bicara.

“Laras, berapa kali harus kuperingatkan agar tidak memanggil bapakku begitu?!” suara Nisa dengan nada tegas.

Laras baru sadar salah bicara. “Maaf, Nis. Maksudku Om Tran. Maaf, maaf, maaf!”

Aku menahan tawa melihat tingkah Laras. Memang begitu, Mas, jangan sampai memanggil bapaknya si Nisa dengan nama Teddy Syah. Semirip apapun, beliau tetaplah Om Tran, bukan artis.

Nisa segera menyambut bapaknya. Rupanya beliau tidak sendirian. Om Teddy datang bersama istrinya. Mas Suden kenal belum sama istri Om Teddy Syah? Namanya Tante Mabruroh, Mas Suden. Beliaulah yang melahirkan Nisa, ibu kandung Nisa.

Oh, ya, Mas. Soal nama Teddy Syah itu memang ada sejarahnya. Cukup unik menurutku. Dan kisah ini pun kami dengar langsung dari Tante Mabruroh. Mas Suden pengin tahu nggak?

Waktu itu, awal-awal kami sering belajar kelompok di rumah Nisa, Tante Mabruroh pernah bercerita tentang masa mudanya. “Saya waktu belum nikah sangat mengagumi sosok Teddy Syah. Mungkin kalian tidak begitu familiar atau paham tentang dia. Dia artis lho, ya... ngetrend zaman saya. Sampai-sampai saya sering mimpi menikah dengan Teddy Syah,” begitu dulu Tante Mabruroh mengawali bercerita.

Tante Mabruroh melanjutkan, “Keinginan kuat itu bahkan saya panjatkan dalam doa-doa. Tiap selesai salat lima waktu atau pun di sujud-sujud salat malam, selalu saya minta sama Allah agar dijodohkan dengan Teddy Syah. Lucu, ya? Saya sendiri tidak habis pikir kenapa saya sampai sebegitunya waktu itu.”

Mas Suden tahu nggak, ternyata doa itu sangat berperan dalam hidup ini. Sebagaimana Tante Mabruroh melanjutkan kisahnya ketika itu. “Percaya tidak percaya, akhirnya saya berkenalan dengan Mas Tran, yang sekarang jadi bapaknya Nisa itu. Kalian lihat, sangat mirip sekali dengan Teddy Syah. Makanya, saya iyakan saja saat Mas Tran mengajak berumah tangga. Luar biasa, bukan? Ini kuasa Allah....”

Kami sempat kagum juga dengan kisah cinta itu. Menurut Mas Suden, salahkah kami latah memanggil bapaknya Nisa dengan sebutan Om Teddy Syah? Wajar, kan? Tapi Nisa tidak terima hal ini. Ia selalu marah kalau kami keceplosan.

Eh. Lewat 900-an kata, Mas Suden. Sudah dulu, ya. Lanjut ke bagian 6 aja nanti.

_Bersambung_

Get notifications from this blog

8 komentar

Jangan lupa beri komentar, ya... Semoga jadi ajang silaturahim kita.