√ Kecelakaan (4) - Halaman Rumah Syamsa

Kecelakaan (4)


KECELAKAAN
Suden Basayev
Cerita Bersambung bagian 4


Lihat Mas Suden, Om Teddy Syah sudah selesai berembuk dengan penabrakku. Beliau mendekati kami.

"Syukurlah, Uky tidak harus dirawat inap. Sekarang boleh dibawa pulang."

"Alhamdulillah, kalau begitu ayo kita antarkan," sambut Laras bersemangat.

"Lalu bagaimana urusannya dengan yang menabrak, Pak? Enak dong kalau dia lepas tangan begitu saja. Uky yang cedera, sementara dia tidak kenapa-napa. Sekarang Uky kita bawa pulang, dia juga pulang? Begitu saja selesai, Pak?" tanya Nisa tanpa sungkan. Di depan penabrakku pula.

"Nisa, kamu tidak perlu memikirkan itu. Bapak sudah bicara sama Mas Zen," sahut bapaknya Nisa segera. "Oh iya, nama orang yang menabrak Uky adalah Zaini, panggilnya Mas Zen."

"Ya harus mikir dong, Pak. Uky sahabat Nisa. Nisa harus campur tangan dengan permasalahan ini."

"Sudahlah, Nis," kataku. "Kamu tidak perlu begitu juga. Bapakmu lebih paham mengurusi masalah ini."

"Mas Zen mengakui kecelakaan ini adalah kesalahannya. Makanya, dia bertanggung jawab untuk pengobatan Uky," Om Teddy Syah mencoba memberikan penjelasan.

Nisa mulai bisa tenang, Mas Suden. Tapi mendadak ada saja yang ia ingat. "Lalu? Bagaimana dengan motor Uky? Kata Uky lumayan kerusakannya? Pokoknya, dia juga harus memperbaikinya."

"Tentu saja, Nis. Kamu tenang sajalah. Semua sudah Bapak bicarakan sama Mas Zen," kata Om Teddy pula. Sebenarnya beliau sudah terbiasa dengan sikap Nisa yang begini ini, tapi terlihat juga agak kesal beliau karena Nisa tidak berhenti bertanya-tanya.

"Maaf, ini ada obat yang harus diminum Dik Uky nantinya," suara petugas medis dari meja kerjanya. Om Teddy mendekat ke sana. Menerima segepok obat yang harus kukonsumsi nanti.

"Tiga hari lagi, Dik Uky kontrol kemari, ya...," terdengar kata-kata petugas medis itu pada Om Teddy.

Petugas medis yang satu lagi membantuku duduk. "Tidak apa-apa. Luka sudah diobati. Ini nanti bisa langsung pulang," katanya.

Penabrakku yang kata Om Teddy bernama Mas Zen itu mendekati meja kerja IGD untuk membayar tagihan pengobatan. Baguslah kalau benar dia bertanggung jawab pengobatanku dan perbaikan motorku.

Om Teddy mendekatiku. "Uky, kamu bisa jalan pelan-pelan, kan?"

Aku mengangguk. Untung juga ada Om Teddy Syah ya, Mas Suden. Jadi ingat Bapak. Beliau sedang ke Wonogiri. Mana nomer handphone Bapak belum kusimpan pula. Sudahlah, yang penting aku selamat. Toh ada sahabat-sahabatku di sini.

"Nisa, Laras, dan Nining, kalian bisa mengantar Uky ke rumah, kan?" tanya Om Teddy.

"Bisa, Om," jawab Laras mewakili.

"Bapak mau kemana?" tanya Nisa.

"Bapak sama Mas Zen mau ke lokasi kecelakaan. Mau ambil motor Uky dan membawanya ke bengkel."

"Terima kasih banyak, ya Om, sudah merepotkan," kataku jadi sungkan.

"Tidak ada yang repot, Uky. Ayolah, kamu pulang sama mereka. Nisa biar dibonceng Laras. Kamu naik motor bersama Nining."

Kami segera berpamitan pada petugas IGD. Tentu tak lupa berterima kasih atas kecekatan mereka merawat lukaku. Mas Suden, aku jadi terharu juga sama kebaikan Om Teddy dan para sahabatku. Saat-saat seperti ini mereka sangat berarti. Beberapa saat kemudian, kami sudah meninggalkan puskesmas.

Sesampainya di rumahku, beberapa tetangga melihat tanganku yang diperban dan kedatanganku yang diantar teman-teman, mereka langsung ambil peduli.

"Uky kenapa? Jatuh?" tanya Pakde Ikhtiar, tetangga sebelah, yang langsung membantuku berjalan menuju pintu masuk.

"Iya, Pakde. Tapi nggak apa-apa, kok," kataku.

Selain Pakde Ikhtiar, datang juga Lek Rouf, Mbah Heru, dan beberapa tetanggaku yang lain. Mereka langsung menyerbu dengan pertanyaan-pertanyaan. Biasalah, di kampung begini, tetangga memang sangat perhatian. Beda dengan di kota yang saling cuek dengan keadaan orang lain.

"Bapakmu kerja, Ky?" tanya Mbah Heru. "Mbok ditelepon biar pulang."

"Libur, kok, Mbah. Tadi pergi ke hajatan teman di Wonogiri," jawabku.

"Sudah kamu kabari, Ky?" tanya Lek Rouf.

"Belum, Lek. Bapak ganti nomer, saya malah belum menyimpannya."

"Ya sudah, yang penting kamu selamat. Buat tiduran saja di kamar, ya," saran Pakde Ikhtiar.

"Iya, Pakde."

Aku dibaringkan di kamarku. Mbak Nova, anak Pakde Ikhtiar yang baru muncul lekas ke dapur membuatkan minum untukku. Mbak Nova memang terbiasa dengan keluargaku. Sama seperti tetangga yang lain, sih.

Nisa, Nining, dan Laras duduk di ruang tamu. Mereka terlibat obrolan dengan para tetangga yang penasaran dengan kecelakaan yang aku alami. Jadi berasa sekali ya, Mas Suden, suasana solidaritas yang ditunjukkan semua orang. Meski bukan saudara, tapi tetangga adalah orang-orang dekat yang selalu ambil peduli pada keadaan kita.

"Uky, minum dulu tehnya," kata Mbak Nova.

"Iya, Mbak. Makasih."

"Mbak mau bikinkan minum juga buat teman-temanmu itu."

Aku mengangguk.

"Sama bikinkan aku kopi, Nov," Pakde Ikhtiar yang duduk di sisi ranjangku yang berkata.

"Bapak ngopi di rumah sajalah," protes Nova.

"Nggak apa-apa lagi, Mbak," aku menyahut. Pakde Ikhtiar memang sangat suka minum kopi. Apalagi kalau lagi ngobrol malam sama Bapak. Betah banget asal ada kopi.

"Sama ambilkan nasi buat Uky. Buat lambaran minum obat."

Begitulah, Mas Suden. Pakde Ikhtiar sama Mbak Nova sudah kayak keluargaku saja. Mbak Nova membuatkan teh untuk Nisa, Nining, dan Laras. Lalu masuk ke kamar membawakan kopi buat Pakde Ikhtiar, dan nasi untukku. Mbak Nova memaksaku menelan nasi dulu sebelum meminumkan obat yang kubawa dari puskesmas.

Setelah memastikan aku baik-baik saja, para tetangga berpamitan. Tinggal Mbak Nova dan Pakde Ikhtiar menemani ketiga sahabatku. Aku mendadak mengantuk setelah minum obat.

Get notifications from this blog

9 komentar

Jangan lupa beri komentar, ya... Semoga jadi ajang silaturahim kita.