Kecelakaan (3)
KECELAKAAN
Suden Basayev
Cerita Bersambung bagian 3
"Dik, maaf, ya, Dik. Kamu bisa bangun? Ayo, kita segera ke puskesmas."
"Iya, bawa ke puskesmas segera! Kasihan, luka-luka begitu."
Mas Suden, aku bisa duduk. Syukurlah. Meski sakit sekujur badan rasanya. Orang yang menabrakku sudah bangkit dari tadi, dia tidak cedera kayaknya, Mas. Malah dia membantuku berdiri sekarang. Ternyata aku pun bisa berdiri. Lututku sakit, pastilah membentur aspal. Dan ada darah mengalir di lengan kiriku.
Penabrakku seorang lelaki muda bertubuh jangkung, perawakannya kurus. Tidak kulihat ia merasakan kesakitan. Bahkan motornya sudah didirikan. Aku merintih perih. Dia membimbingku naik ke atas motornya. Aku menurut saja.
"Dik, kamu bisa pegangan, kan?" tanyanya. Aku mengangguk.
Kulihat motorku sudah didirikan. Ada kerusakan cukup parah pada body motor. Tapi saat di-starter salah satu pengerumunku, mesin masih menyala.
"Pak, tolong titipkan motornya ke rumah warga terdekat. Saya bawa gendhuk ini ke puskesmas dulu biar lukanya dirawat," pinta penabrakku.
"Iya, Mas. Ini kunci motornya, sama tasnya dibawa ke puskesmas saja."
"Iya, Pak. Terima kasih."
Jadilah aku membonceng laki-laki yang menabrakku menuju ke puskesmas Weru yang memang tidak terlalu jauh dari lokasi kecelakaan. Sial amat nasibku, Mas Suden. Semoga lukaku tidak ada yang serius, ya, Mas....
Motor sudah berbelok masuk puskesmas. Langsung ke arah gedung IGD. Dua orang tukang parkir membantuku turun, dan langsung memapahku masuk ruang IGD. Aku dibaringkan di ranjang yang tersedia.
Penabrakku langsung menemui petugas medis yang berjaga. Tidak lama kemudian, dua orang petugas medis mendekatiku. Langsung melihat lukaku. kuperlihatkan lenganku yang berdarah. Dengan cekatan lukaku dibersihkan. Rupanya kulit lenganku sobek dan harus dijahit. Aah....
"Minum, Dik...." Suara lelaki yang menabrakku. Cepat sekali dia sudah membawa segelas teh hangat yang dipesan dari kantin depan IGD. Aku menurut saja, menyeruput hangat dari sedotan.
Kejadiannya seperti cepat sekali, Mas Suden. Tidak menyangka aku mengalami kecelakaan. Dan kini di ruang IGD, luka lenganku dijahit. Lututku dibersihkan darahnya. Syukurlah, tidak ada yang benar-benar serius.
"Dik, ada nomer keluarga yang bisa dihubungi?" tanya penabrakku.
"HP di tasku...."
Lelaki itu mengulurkan tasku. Lekas kuambil androidku. Ya ampun, Mas Suden, aku tidak menyimpan nomer baru Bapak. Lalu siapa yang harus kuhubungi?
Notifikasi WhatsApp. Pesan dari Laras. "Sampai mana, Uky?"
Tampaknya aku harus menghubungi Laras. Dia pasti sudah di rumah Nisa bersama Nining. Lekas kusentuh logo telepon WhatsApp.
"Hallo, Ky...," suara Laras di seberang sana.
"Ras, aku tabrakan. Ini lagi di puskesmas. Kalian kesini ya, segera."
"Heh? Serius?"
"Iyalah, masak aku bohong. Buruan ya...!"
Usai menutup panggilan. Lelaki penabrakku yang berdiri di dekatku bertanya, "Masih ada luka lain nggak, Dik, selain lengan dan lutut?"
Aku menggeleng.
"Alhamdulillah. Maafkan saya ya, Dik, semua kesalahan saya."
Aku diam saja. Mendadak aku merasa sebal juga. Teringat dia naik motor sambil mainan handphone.
"Minum lagi tehnya, Dik...."
Aku menggeleng.
Petugas medis mendekat. "Sudah, tidak ada yang serius. Luka-luka luar saja. Hanya lengannya yang dijahit harus dirawat dengan baik."
Syukurlah, Mas Suden, ya.... Ingat rasanya waktu kejadian tadi, kupikir parah benar lukaku. Kata-kata petugas IGD ini cukup melegakanku.
"Minta data diri pasiennya. Nama sama alamat?"
Segera kusebutkan namaku. Juga alamat rumah, serta beberapa pertanyaan lain yang diajukan petugas itu.
Beberapa saat kemudian, terlihat Laras, Nisa, dan Nining tiba. Mereka muncul bersama Teddy Syah. Mas Suden kenapa kaget? Teddy Syah? Hahaha. Maksudku bapaknya si Nisa. Aku, Laras, sama Nining sering menyebut beliau sebagai Teddy Syah, soalnya wajah beliau memang mirip sekali sama artis satu itu. Lihatlah, Mas Suden, benar mirip kan, bapak si Nisa sama suami Rina Gunawan itu? Tapi Mas Suden jangan sebut nama Teddy Syah di depan Nisa, ya. Nisa suka marah-marah bapaknya disama-samain dengan artis.
"Ya ampun, Uky... kenapa bisa begini?! Tanganmu... sama lututmu? Sakit sekali, ya? Kasihan sekali Uky...!" suara Nisa. Ah, dia mah suka lebay gitu. Mana suaranya nggak bisa pelan lagi.
"Nggak apa-apa, kok, Nis. Sudah diobati, tenang saja," kataku segera, agar Nisa tidak makin menjadi celotehannya.
"Kamu tabrakan sama siapa? Mana orangnya? Tega sekali dia nabrak kamu?"
Ah, Nisa, nanya pelan saja kenapa, sih! Mana berderet gitu pertanyaannya. Padahal yang orang ditanyakannya berdiri tak jauh darinya.
"Maaf, Dik. Saya tidak sengaja menabrak Dik Uky ini...," penabrakku yang menjawab pertanyaan Nisa. Nisa langsung menolehnya.
"Mas ini, bisa-bisanya nabrak sahabatku! Kasihan kan jadi begini?" labrak Nisa tanpa babibu. Nisa memang begini orangnya, Mas Suden. Tapi ini juga bentuk rasa kesetiakawanannya, rasa solidaritasnya untukku. Ya, meski harusnya nggak perlu heboh begitu juga, sih.
"Nisa, sudah. Kamu diam saja. Biar Bapak yang ngurusi," suara berwibawa Teddy Syah yang akhirnya mendamaikan suasana, meredakan letupan Nisa.
Bapaknya Nisa segera menyalami penabrakku. Lalu mengajaknya agak menjauh dari kami. Giliran Nining dan Laras yang berebut mendekatiku. Melihat lukaku lebih dekat.
"Bagaimana kejadiannya, Uky?" tanya Nining.
"Cowok itu naik motor sambil mainan HP, Ning. Begitulah, dia tidak melihatku. Tabrakan deh."
"Beneran kamu baik-baik saja?" Laras bertanya.
Aku mengangguk. "Sorry, ya, Ras. Alakatakmu tumpah di jalan."
"Ya ampun, Ky. Itu mah nggak penting. Yang penting kamu selamat. Alakatak kamu pikirin."
Mas Suden, cukup dulu ya. Lukaku terasa nyut-nyutan nih. Kita lanjut lagi nanti di bagian empat, ya.
Suden Basayev
Cerita Bersambung bagian 3
"Dik, maaf, ya, Dik. Kamu bisa bangun? Ayo, kita segera ke puskesmas."
"Iya, bawa ke puskesmas segera! Kasihan, luka-luka begitu."
Mas Suden, aku bisa duduk. Syukurlah. Meski sakit sekujur badan rasanya. Orang yang menabrakku sudah bangkit dari tadi, dia tidak cedera kayaknya, Mas. Malah dia membantuku berdiri sekarang. Ternyata aku pun bisa berdiri. Lututku sakit, pastilah membentur aspal. Dan ada darah mengalir di lengan kiriku.
Penabrakku seorang lelaki muda bertubuh jangkung, perawakannya kurus. Tidak kulihat ia merasakan kesakitan. Bahkan motornya sudah didirikan. Aku merintih perih. Dia membimbingku naik ke atas motornya. Aku menurut saja.
"Dik, kamu bisa pegangan, kan?" tanyanya. Aku mengangguk.
Kulihat motorku sudah didirikan. Ada kerusakan cukup parah pada body motor. Tapi saat di-starter salah satu pengerumunku, mesin masih menyala.
"Pak, tolong titipkan motornya ke rumah warga terdekat. Saya bawa gendhuk ini ke puskesmas dulu biar lukanya dirawat," pinta penabrakku.
"Iya, Mas. Ini kunci motornya, sama tasnya dibawa ke puskesmas saja."
"Iya, Pak. Terima kasih."
Jadilah aku membonceng laki-laki yang menabrakku menuju ke puskesmas Weru yang memang tidak terlalu jauh dari lokasi kecelakaan. Sial amat nasibku, Mas Suden. Semoga lukaku tidak ada yang serius, ya, Mas....
Motor sudah berbelok masuk puskesmas. Langsung ke arah gedung IGD. Dua orang tukang parkir membantuku turun, dan langsung memapahku masuk ruang IGD. Aku dibaringkan di ranjang yang tersedia.
Penabrakku langsung menemui petugas medis yang berjaga. Tidak lama kemudian, dua orang petugas medis mendekatiku. Langsung melihat lukaku. kuperlihatkan lenganku yang berdarah. Dengan cekatan lukaku dibersihkan. Rupanya kulit lenganku sobek dan harus dijahit. Aah....
"Minum, Dik...." Suara lelaki yang menabrakku. Cepat sekali dia sudah membawa segelas teh hangat yang dipesan dari kantin depan IGD. Aku menurut saja, menyeruput hangat dari sedotan.
Kejadiannya seperti cepat sekali, Mas Suden. Tidak menyangka aku mengalami kecelakaan. Dan kini di ruang IGD, luka lenganku dijahit. Lututku dibersihkan darahnya. Syukurlah, tidak ada yang benar-benar serius.
"Dik, ada nomer keluarga yang bisa dihubungi?" tanya penabrakku.
"HP di tasku...."
Lelaki itu mengulurkan tasku. Lekas kuambil androidku. Ya ampun, Mas Suden, aku tidak menyimpan nomer baru Bapak. Lalu siapa yang harus kuhubungi?
Notifikasi WhatsApp. Pesan dari Laras. "Sampai mana, Uky?"
Tampaknya aku harus menghubungi Laras. Dia pasti sudah di rumah Nisa bersama Nining. Lekas kusentuh logo telepon WhatsApp.
"Hallo, Ky...," suara Laras di seberang sana.
"Ras, aku tabrakan. Ini lagi di puskesmas. Kalian kesini ya, segera."
"Heh? Serius?"
"Iyalah, masak aku bohong. Buruan ya...!"
Usai menutup panggilan. Lelaki penabrakku yang berdiri di dekatku bertanya, "Masih ada luka lain nggak, Dik, selain lengan dan lutut?"
Aku menggeleng.
"Alhamdulillah. Maafkan saya ya, Dik, semua kesalahan saya."
Aku diam saja. Mendadak aku merasa sebal juga. Teringat dia naik motor sambil mainan handphone.
"Minum lagi tehnya, Dik...."
Aku menggeleng.
Petugas medis mendekat. "Sudah, tidak ada yang serius. Luka-luka luar saja. Hanya lengannya yang dijahit harus dirawat dengan baik."
Syukurlah, Mas Suden, ya.... Ingat rasanya waktu kejadian tadi, kupikir parah benar lukaku. Kata-kata petugas IGD ini cukup melegakanku.
"Minta data diri pasiennya. Nama sama alamat?"
Segera kusebutkan namaku. Juga alamat rumah, serta beberapa pertanyaan lain yang diajukan petugas itu.
Beberapa saat kemudian, terlihat Laras, Nisa, dan Nining tiba. Mereka muncul bersama Teddy Syah. Mas Suden kenapa kaget? Teddy Syah? Hahaha. Maksudku bapaknya si Nisa. Aku, Laras, sama Nining sering menyebut beliau sebagai Teddy Syah, soalnya wajah beliau memang mirip sekali sama artis satu itu. Lihatlah, Mas Suden, benar mirip kan, bapak si Nisa sama suami Rina Gunawan itu? Tapi Mas Suden jangan sebut nama Teddy Syah di depan Nisa, ya. Nisa suka marah-marah bapaknya disama-samain dengan artis.
"Ya ampun, Uky... kenapa bisa begini?! Tanganmu... sama lututmu? Sakit sekali, ya? Kasihan sekali Uky...!" suara Nisa. Ah, dia mah suka lebay gitu. Mana suaranya nggak bisa pelan lagi.
"Nggak apa-apa, kok, Nis. Sudah diobati, tenang saja," kataku segera, agar Nisa tidak makin menjadi celotehannya.
"Kamu tabrakan sama siapa? Mana orangnya? Tega sekali dia nabrak kamu?"
Ah, Nisa, nanya pelan saja kenapa, sih! Mana berderet gitu pertanyaannya. Padahal yang orang ditanyakannya berdiri tak jauh darinya.
"Maaf, Dik. Saya tidak sengaja menabrak Dik Uky ini...," penabrakku yang menjawab pertanyaan Nisa. Nisa langsung menolehnya.
"Mas ini, bisa-bisanya nabrak sahabatku! Kasihan kan jadi begini?" labrak Nisa tanpa babibu. Nisa memang begini orangnya, Mas Suden. Tapi ini juga bentuk rasa kesetiakawanannya, rasa solidaritasnya untukku. Ya, meski harusnya nggak perlu heboh begitu juga, sih.
"Nisa, sudah. Kamu diam saja. Biar Bapak yang ngurusi," suara berwibawa Teddy Syah yang akhirnya mendamaikan suasana, meredakan letupan Nisa.
Bapaknya Nisa segera menyalami penabrakku. Lalu mengajaknya agak menjauh dari kami. Giliran Nining dan Laras yang berebut mendekatiku. Melihat lukaku lebih dekat.
"Bagaimana kejadiannya, Uky?" tanya Nining.
"Cowok itu naik motor sambil mainan HP, Ning. Begitulah, dia tidak melihatku. Tabrakan deh."
"Beneran kamu baik-baik saja?" Laras bertanya.
Aku mengangguk. "Sorry, ya, Ras. Alakatakmu tumpah di jalan."
"Ya ampun, Ky. Itu mah nggak penting. Yang penting kamu selamat. Alakatak kamu pikirin."
Mas Suden, cukup dulu ya. Lukaku terasa nyut-nyutan nih. Kita lanjut lagi nanti di bagian empat, ya.
Get notifications from this blog
Mantap, Mas.
BalasHapusKamu juga mantap, Sovia. Eh, begadang jam segini blm tidur?
HapusMakasih, Mas. Tulisan saya belum selesai, jadi begadang deh 😅
HapusSemangat terus ya!
HapusNah...nggak boleh ya..mainin hape sambil nyetir nyopirin motor..
BalasHapusAda teddy syah pula
Lanjutkan
Iya, mbak Wid. Biar nggak pada mainan hp di atas motor... Hehe. Salam dari Teddy Syah.
Hapustinggal nunggu mba mab blm muncul aja nih, hehe.. jadi peran apa ya, mba mab?
BalasHapusAtuut... gak berani bawa2 belio...
Hapushahaha, kan fiksi ini mah..
HapusIya ya, oke deh, semoga besok beliau tampil...
Hapuswkwkwkwkwk itu Nisa ngeselin banget...
BalasHapusAku bikin bagus kan, tokoh Nisa. Solidaritasnya tinggi.
HapusKasihan Nisa eh Ukh ehTeddy Sayh eh kok kasihan semua [-(
HapusSaya justru mengkhawatirkan alakataknya. Sayang banget. 😥
BalasHapusWua....
Hapus