Kecelakaan (2)
KECELAKAAN
Suden Basayev
Cerita Bersambung bagian 2
Bapak sudah kelar mandinya, Mas Suden. Lanjut, ya, ceritanya. Lihat, tuh, Bapak malah sudah ganti pakaian. Keren juga, ya, Bapak pakai setelan hem batik sama celana halusan hitam begitu. Sebenarnya kalau dipandang-pandang, Bapak memang seorang lelaki yang gagah. Tapi sejak Ibu meninggal, Bapak belum ada tanda-tanda mau kawin lagi. Ya, syukurlah. Ternyata meski sangar begitu, Bapak sosok yang setia juga. Sifat setia seperti itu pasti menurun padaku. Iya, kan, Mas Suden?
"Uky, Bapak berangkat dulu. Mungkin pulang sore."
"Iya, Pak. Aku juga mau belajar kelompok ke rumah Nisa."
Bapak mengenakan jaket. Lalu mendekati handphone yang dicas dekat televisi. "Sialan! Dicas dari tadi baterai belum juga penuh?!" maki Bapak sendiri.
"Baterainya sudah minta ganti itu, Pak," kataku sambil meraih handuk. Gantian aku yang harus membersihkan badan.
"Ya sudahlah, Bapak duluan. Jangan lupa dikunci kalau kamu pergi juga."
Kulihat Bapak mencabut handphone dan memasukkan ke saku jaket. Lalu meraih helm di atas lemari. Saat itulah, notifikasi WhatsApp di smartphone-ku berbunyi. Lekas kuraih perangkat telekomunikasi yang sedari tadi kutaruh di atas meja tamu itu.
WhatsApp dari Laras, Mas Suden. Kubuka dulu, ya. "Ky, aku sudah otw, nih."
"Iya, aku juga segera meluncur."
"Oya, Ky, ini Minggu Pahing, kan?"
"Tau. Kenapa emang?"
"Biasa, kamu kan lewat pasar Tawang."
"Hadeh! Suruh bawain alakatak?"
"Hahaha. Kamu emang sahabatku yang paling mengerti, Ky."
"Asem."
"Kok asem! Alakatak! Jangan lupa!"
Laras, Laras. Kesukaannya memang tidak pernah berubah. Zaman sudah modern gini, dia masih doyan alakatak, Mas Suden. Tempe khas dari Weru, Mas, kota kelahiran kita ini. Kalau tidak aku bawakan, Laras suka ngomel-ngomel kayak setan kurang sesaji. Hahaha. Ya, sudah, nanti mampir pasar. Sekalian beli camilan lain yang sebaya dengan alakatak, seperti cenil, klepon, atau lopis. Hehe, ini mau belajar kelompok apa mau pesta camilan! Biasalah, Mas Suden, belajar kelompok memang cuma alasan buat kumpul seru-seruan. Zaman Mas Suden dulu gimana? Sama saja, kan?
Suara motor Bapak di-starter di luar. Tak lama kemudian, beliau sudah melaju motornya menuju Wonogiri. Aku bergegas ke kamar mandi. Aku mandi dulu, ya, Mas Suden....
Usai mandi, aku lekas berpakaian santai. Tidak lama juga, aku sudah siap pergi. Pake sweater biru, tidak lupa androidku masuk ke tas kecil yang kubawa, sama dompet juga.
Kuraih kontak motorku, sekalian kunci rumah. Bergegas aku menuju pintu. Mengunci dari luar, lalu duduk di atas jok matic-ku. Siap-siap otw, Mas Suden. Dan tidak berapa lama kemudian, aku sudah berkendara di atas jalanan aspal kampung. Meski perkampungan, pembangunan di sini cukup maju. Mas Suden sudah tahu sendiri, yang kulewati aspal goreng alias hotmix. Meski sudah lewat satu tahun pengerjaannya, tapi aspal masih mulus banget, Mas.
Dari Sidowayah, kampungku, Mas Suden, menuju ke Pasar Tawang Kuno, cuma berjarak sekitar satu kilometer. Tidak sampai tiga menit aku sudah memasuki area pasar. Tidak perlu parkir, cukup menepikan motor, aku sudah bisa menjumpai Mbok-Mbok yang jualan tempe alakatak. Sebungkus cuma seribu rupiah. Aku beli sepuluh ribu rupiah, biar puas Laras nanti. Sama beli beberapa makanan kecil lainnya.
Cukup, Mas Suden, kita lanjut jalan. Rumah Nisa di Tegalsari, dari Pasar Tawang Kuno ke arah barat sekitar tidak lebih dari dua kilo, melewat jalan Cawas-Weru yang kanan-kirinya sawah membentang. Yuk, Mas Suden, lanjut....
Sudah lewat jam sembilan pagi, hanya ada beberapa kendaraan melintas di jalan ini. Beberapa remaja yang menikmati Minggu pagi dengan lari-lari santai di jalan Cawas-Weru terlihat melepas lelah di jembatan dekat SMK Iptek. Padahal sengat matahari sudah mulai terasa hangat. Aku melaju terus motorku ke arah barat.
Suatu saat, dari arah barat terlihat sebuah truk yang mengangkut pasir berjalan pelan. Aku agak menepikan motor ke kiri. Memang jalur yang kulewati ini sering dilintasi truk-truk pasir dari daerah Wedi menuju ke Weru, jadi biasa saja bagiku bersimpangan dengan truk seperti ini. Mas Suden tahu persis, kan, tentang ini.
Simpangan dengan truk berjalan lancar, Mas, tapi di belakang truk terlihat sebuah motor melaju kencang dari barat. Lihat, Mas, pengendaranya sambil mencet-mencet handphone. Ini nih yang paling kubenci, main handphone sambil naik motor. Mas Suden, itu kenapa si pemotor tidak lihat jalan? Mas... jarak motorku dengannya sangat dekat, dia tidak melihat keberadaanku!
Sial, Mas Suden! Motor itu meluncur deras ke arahku. Pengendaranya baru sadar saat jarak sudah sangat dekat. Lekas kupencet klakson dengan terburu. Tapi... Tuhan! Dia tidak bisa mengendalikan motor, tampaknya sempat kaget dengan keberadaanku. Dan...
Gubrakkk!!!
Mas Suden, aku ditabraknya begitu keras! Suara benturan yang mengerikan. Aku merasakan tubuhku terbanting bersama motorku yang hilang kendali. Aku sempat terseret bersama motorku sebelum tersungkur. Suara mesin motor masih menderu bersamaan aku merasakan tubuhku terkapar di aspal. Ah, ada perih dan sakit yang menyambut! Untung helm masih menahan kepalaku yang membentur ke aspal.
Aku masih sadar, Mas Suden. Tapi rasanya aku berat sekali untuk bangun. Aarghh..., tubuhku sakit semua, Mas. Aku mengalami kecelakaan, Mas Suden.... jadi judul cerbung ini untukku, Mas? Aduh... sakit sekali. Mengapa Mas Suden tidak bilang kalau di bagian dua aku harus mengalami ini, Mas?
Dan aku setengah sadar, saat beberapa orang mengerumuniku. Para pengendara motor yang tidak seberapa berhenti. Mereka segera berkerumun. Dan mendadak mataku berkunang-kunang, Mas Suden....
_bersambung_
Get notifications from this blog
Ya Alloh kenapa itu..
BalasHapusTetep ditunggu nih lanjutannya
Eh, mbak Wiwid. Tulisannya sambil ngantuk ini...
Hapusalakatak ooh alakatak... =D
BalasHapusmsh blm ngeuh sama jln ceritanya, dtunggu lanjutanny, mas
:p Bikin bingung ya mas?
HapusOke. Ini menarik. Saya numpang gelar tiker disini.
BalasHapusSilakan, silakan....
HapusIkutan nimbrung dong
Hapus