Raden Hasan dan Raden Husain
Serial Janma Jatya
Bagian Satu
Raden Hasan dan Raden Husain
Dua pemuda itu adalah Raden Hasan dan Raden Husain. Berkuda di sebuah padang rumput di tepi sebuah hutan kecil di arah timur Kadipaten Palembang.
"Kando Hasan, kita berhenti dulu," salah satu di antaranya berseru. Ia menarik tali kekang kudanya.
"Ada apa, Dindo Husain?"
"Aku mau menantang Kando bermain panah," jawabnya. Ia lalu turun dari punggung kuda, menuntun binatang perkasa itu dan mengikatnya di bawah sebatang pohon trembesi tua.
Raden Hasan hanya tersenyum. Pemuda gagah itu tidak bersegera turun dari punggung binatang tunggangannya. Ia hanya mendekatkan kudanya ke arah adiknya yang selesai mengikat kuda.
"Kau masih penasaran, Dindo?"
"Hahaha." Raden Husain tertawa kecil. "Aku sudah melatih lagi kemampuanku memanah, Kando. Kando akan segera menyaksikannya."
"Aku percaya, dan dengan senang hati, kuterima tantanganmu, Dindo."
Tidak menunggu lama, Raden Husain lekas memasang papan kayu untuk sasaran anak panah. Papan kayu randu alas yang cukup lebar, yang diberi goresan berwarna merah. Goresan berupa lingkaran bulat dengan titik tengah sebagai sasaran utama, dan beberapa lingkaran kecil mengelilingi titik itu dengan ukuran makin membesar. Di mana semakin jauh dari titik utama, maka anak panah yang menancap tentu saja yang kalah.
"Lihatlah, Kando, aku akan perlihatkan kemampuan Husain yang sesungguhnya."
Raden Husain menenteng busurnya. Menjauh dari papan sasaran. Setelah jarak dirasa cukup, segera memasang sebatang anak panah. Merentang tali busur dengan gaya sedemikian rupa, dan tidak lupa melirik ke arah kakaknya sebelum meluncurkan anak panah. "Jangan kedipkan matamu, Kando."
Raden Hasan tertawa ringan. "Pasti, Dindo. Aku juga mau tahu perkembangan latihanmu."
Mendengar itu, Raden Husain kian tertantang untuk membuktikan ketepatannya memanah sasaran. Tatapan matanya tajam menusuk titik merah di tengah papan sasaran. "Bismillahir rahmanir rahim," desisnya.
Settt!!!
Jlebbb!
Anak panah batang kayu bermata besi lancip itu meluncur dengan sangat deras ke arah sasaran. Luar biasa, mata besi lancip itu benar-benar menancap pada sasaran yang diinginkan pemanahnya.
Raden Husain berseru girang. "Lihatlah, Kando, lihatlah!"
Raden Hasan memberikan tepukan tangan tanda salutnya. "Sangat mengesankan, Dindo. Sungguh kau seorang pemanah jitu sekarang," Raden Hasan menanggapi.
"Kando bisa melakukannya lebih baik, dan aku belum ada apa-apanya," Raden Husain merendah, menyadari bagaimana sang kakak yang memang jago dalam memanah. Tidak hanya memanah, seluruh senjata bisa dia mainkan dengan sangat sempurna. Dan Raden Husain selalu iri dengan kemampuan kakaknya itu.
"Tapi hasil latihanmu sangat memuaskan, Dindo," Raden Hasan tetap memberikan pujian tulus.
"Giliranmu, Kando...," Raden Husain mengingatkan.
Raden Hasan tersenyum. Ia tidak turun dari punggung kudanya, tapi malah menggebraknya hingga binatang berbulu hitam pekat itu meringkik keras, mengangkat dua kaki depannya tinggi-tinggi, lalu berlari menuruti kemauan penunggangnya.
Raden Hasan memacu kudanya berkeliling padang rumput. Adiknya melihat saja kelakuan sang kakak. Pemuda gagah itu sambil berkuda mengangkat busur panah. Memasang satu batang anaknya. Dan kudanya terus bergerak.
Raden Husain penasaran akan apa yang akan ditunjukkan sang kakak. Ia hanya tidak mau melewatkan sekejap pun pertunjukan yang kakaknya tampilkan.
Raden Hasan melihat sekilas ke papan sasaran, yang di tengahnya menancap anak panah yang dilepas sang adik. Dengan gerakan cukup gesit dan sangat cepat, ia merentang busur, dan tak lama kemudian anak panah itu sudah meluncur dengan deras, nyaris Raden Husain tidak melihatnya.
Siuutt!
Jleebb!
Raden Husain terperangah. Takjub dan nyaris tidak bisa percaya akan apa yang dilihatnya. Anak panah yang dilepas Raden Hasan membelah anak panahnya yang sudah menancap lebih dulu pada papan sasaran. Anak panah Raden Hasan tepat pada titik sasaran, dengan membelah anak panah Raden Husain menjadi dua bagian!
"Kando..., luar biasa, aku tidak percaya Kando melakukannya!" seru Raden Husain seraya mendekat papan sasaran.
Raden Hasan menghentikan lari kudanya di dekat sang adik. "Kalau kau giat berlatih, kau juga bisa melakukannya, Dindo...," kata Raden Hasan.
Raden Husain menggeleng-geleng kepala masih penuh ketakjuban. Raden Hasan mendongak ke langit sebelah barat. Senja mulai turun. "Dindo, sebentar lagi Magrib tiba. Ayo kita kembali ke Kadipaten. Aku tidak ingin Bundo kebingungan karena kita belum pulang."
Meski masih belum hilang rasa takjubnya, Raden Husain tidak membantah. Ia kemasi papan sasaran. Ia masukkan kembali ke keranjang besar tempatnya menyimpan beberapa alat latihan olah kanuragan. Tak lama kemudian, keduanya sudah menggebrak kuda masing-masing menuju kota praja Kadipaten Palembang. Sementara di langit barat, matahari sudah memudar sinarnya.
(Semoga) Bersambung....
Get notifications from this blog
bagian duo nyo, Kando...
BalasHapusMasih di angan mas...
Hapus