Panembahan Podo
Pangeran Jayasabha dan selusin prajurit khusus yang ia bawa menunggu di pendapa padepokan. Siang yang tanpa matahari, mendung gelap yang tak bersahabat, dipadu hembusan angin pegunungan yang menggidikkan. Wedang jahe hangat yang disajikan para cantrik sudah ludes sedari tadi, yang masih sisa dalam cangkir pun sudah dingin.
"Keparat, lama sekali Panembahan Podo itu?!" terdengar makian sang pangeran. Kentara sekali ia sudah tidak sabar menunggu.
Melihat kegusaran junjungannya, seorang prajurit lekas berseru pada salah satu cantrik yang lewat. "Cantrik, mengapa panembahanmu belum juga keluar? Apa dia tidak tahu siapa tamunya?!"
Cantrik yang dimaksud lekas mendekat. Mengaturkan sembah. "Ampun, Tuan. Panembahan akan segera keluar. Beliau sudah menyelesaikan puja semadi."
"Kalau bukan atas perintah langsung Ayahanda Prabu Kertajaya, tidak sudi aku menunggu selama ini. Menyingkirlah dari hadapanku, jengah melihat tampangmu!" Pangeran Jayasabha menghardik. Cantrik itu lekas beringsut pergi dengan muka pias.
"Gusti Pangeran, apa tidak sebaiknya kita masuk ke ruang dalam padepokan saja? Hamba curiga, jangan-jangan panembahan itu sengaja berlama-lama, menyepelekan kedatangan kita...."
Pangeran Jayasabha menatap prajurit di depannya. "Usulmu cukup masuk akal. Ayo, kita masuk saja!"
"Jangan, Tuanku. Biarkan panembahan yang keluar menemui Tuan-Tuan," seorang cantrik separuh baya mencoba menahan.
"Jangan coba-coba melarang!" sentak prajurit yang tadi memberi usul, sambil mendorong cantrik itu hingga terjengkang jatuh. Beberapa cantrik mendekatinya, membantu bangun.
Tapi belum sempat mereka melangkah masuk, keluarlah Panembahan Podo. "Maafkan jika saya membuat Tuan-Tuan berlama menunggu. Saya Podo yang Tuan cari. Silakan kembali duduk di pendapa."
Pangeran Jayasabha sesaat tercenung. Ditatapnya orang yang baru saja muncul itu. Dalam bayangannya, Panembahan Podo pastilah sudah tua, tapi yang ada di hadapannya adalah seorang yang masih muda, bisa jadi seusia dengannya. Penampilannya yang mengenakan pakaian serba putih, serban melintang di dadanya, juga kain penutup rambut kepala yang juga putih, meyakinkannya bahwa pemuda itu yang dia cari.
"Benarkah aku berhadapan dengan Panembahan Podo?" tanya sang pangeran menghilangkan keraguan.
"Saya memang yang Tuan maksudkan. Saya Podo, pemilik Padepokan Kentang Sastra ini. Silakan duduk, biar para cantrikku mengambilkan lagi minuman hangat."
Pangeran Jayasabha terpaksa menurut saja. Keduanya duduk bersila di balai pendapa. Sementara selusin prajurit khusus berjaga di sekitar mereka. Beberapa cantrik datang membawa minuman hangat dan makanan ringan yang semua berbahan dasar kentang.
"Sambil diminum, Tuan, juga makanannya silakan dinikmati," Panembahan Podo mempersilakan. "Maafkan jika kami hanya memiliki ini untuk disajikan. Seperti Tuan lihat, sekeliling padepokan ini hanya ada tanaman kentang. Ini sudah turun temurun, kebiasaan bertanam kentang dari pendiri padepokan ini. Saya hanya meneruskan."
"Baik, Panembahan. Aku akan menikmati apa yang Panembahan sajikan. Terima kasih sekali," kata-kata Pangeran Jayasabha terdengar agak dipaksakan. Rupanya kekesalan menunggu tadi masih bercokol.
Panembahan Podo bisa melihat semua itu. Meski usianya masih muda, tapi dia memiliki waskita yang tinggi, keilmuan yang mumpuni. Bahkan sekadar hanya untuk membaca perwatakan orang yang baru sekali ditemui, dia bisa.
"Panembahan, rasanya aku sudah cukup lama di sini. Sebenarnya pekerjaanku sangat banyak. Aku meluangkan waktu kemari menemuimu. Langsung atas perintah Ayahanda Prabu Kertajaya."
Panembahan Podo mengangguk-angguk. "Sebuah kehormatan untuk saya, Tuan. Pangeran dari kerajaan Kediri datang ke Padepokan Kentang Sastra atas perintah Maharaja Kediri, Prabu Kertajaya, hanya untuk menemui kawulanya yang dina ini."
"Tidak usah terlalu berbasa-basi, Panembahan."
"Saya sungguh-sungguh, Tuan."
Pangeran Jayasabha menghela napas. Sebenarnya ia terkesima juga dengan sikap dan pembawaan tenang yang ditunjukkan pemuda di hadapannya. Usianya ternyata sangat tertinggal dibanding segala sikap dan pembawaannya yang sangat dewasa itu.
Panembahan Podo lekas bertanya, "Sekiranya ada perintah apa dari Prabu Kertajaya? Dan apakah seorang saya bisa melaksanakannya?"
"Panembahan. Aku tidak tahu apakah engkau mengerti perubahan dan perkembangan di luar sana atau tidak. Aku akan sedikit menjelaskan pada Panembahan."
"Saya jarang keluar dari padepokan, Tuan."
"Begini, Panembahan...," lanjut Pangeran Jayasabha, "Kerajaan Kediri kita sedang dibayang-bayangi sebuah gangguan dari para pemberontak."
"Apakah ada yang seberani itu, Tuan?"
"Iya. Telik sandi yang disebar di mana-mana, selalu melaporkan hal ini."
"Pemberontakan tentu ada penyebabnya."
Pangeran Jayasabha berhenti bersuara. Agak terkejut ia dengan sahutan Panembahan Podo. Tapi lekas ia melanjutkan bicara, "Penyebabnya tentu karena mereka iri dengan kekuasaan Ayahanda Prabu. Dan mereka mau coba-coba mengusiknya."
"Kalau saya boleh sedikit berbicara tentang hal ini, ada sekadar masukan dari saya untuk Gusti Prabu."
"Masukan apa? Bicaralah saja...."
"Saya tahu persis, Gusti Prabu sedang bermasalah dengan para pemuka Siwa, para pendeta, para resi dan para biksu...."
"Katamu kau tidak pernah meninggalkan padepokan, Panembahan? Tahu apa engkau persoalan itu?"
"Ampunkan saya, Tuan. Sekadar saran, hentikan keinginan Gusti Prabu untuk menjadikan diri sebagai Dewa yang mengharuskan para pemuka Siwa dan lainnya untuk menyembah pada Gusti Prabu. Inilah pemantik bara-bara kecil pemberontakan. Sayang jika Kediri yang sebesar ini harus diusik perpecahan."
Mendadak merah padam wajah Pangeran Jayasabha. "Berani sekali mulutmu berkata selancang itu, Panembahan?!"
"Saya sekadar memberi saran, Tuan."
Pangeran Jayasabha mencoba menahan amarahnya. Dia teringat pesan ayahandanya agar jangan sekalipun berani membuat masalah dengan Panembahan Podo. Sial, batinnya, apa yang membuat Ayahanda begitu takut pada pemuda ini? Ditatapnya sang panembahan yang masih dengan segala ketenangannya.
"Baiklah, Panembahan. Aku akan meneruskan kata-kataku, perintah dari Prabu Kertajaya."
"Katakan...."
"Ayahanda menyerukan kepada seluruh perguruan kanuragan dan segenap padepokan di Kediri untuk bergabung menjadi satu kekuatan, melawan dan menghentikan segala kemungkinan pemberontakan."
Panembahan Podo mengangguk paham. "Kecuali Padepokan Kentang Sastra, bukan?"
"Padepokan ini juga, Panembahan. Harus patuh dan bersedia bergabung menguatkan Kediri, tanah tumpah darah kita."
"Tapi untuk apa Padepokan Kentang Sastra, Tuan? Di sini kami hanya belajar sastra. Belajar membaca kitab-kitab, belajar menulis di rontal. Apa bisa kami untuk melawan pemberontakan?"
"Aku tidak yakin dengan perkataanmu, Panembahan. Aku tahu, di sini juga belajar olah kanuragan. Kesaktian Panembahan Podo sampai membuat Prabu Kertajaya menurunkan perintah langsung kepada putranya hanya untuk menemuimu!"
"Tidak, Tuan. Saya tidak berani menerima perintah ini. Biarkan Padepokan Kentang menjadi satu pengecualian."
Pangeran Jayasabha mulai tersinggung. "Artinya kau membangkang, Panembahan?"
"Saya tidak berani, Tuan."
"Omong kosong! Kau menolak bergabung dengan kekuatan bentukan Maharaja Kediri. Di mana rasa kesetiaanmu kepada negeri ini?"
"Tuan, saya selalu setia dengan Kediri. Tapi untuk bermusuhan dengan sesama rakyat Kediri, saya tidak bisa."
"Rupanya kau panembahan yang tidak tahu diri. Aku akan mengadukan semua perkataanmu pada Ayahanda Prabu. Jangan salahkan jika Ayahanda akan mengambil tindakan tegas pada penolakanmu ini!"
"Saya berdiri di atas kebenaran yang saya yakini, Tuan," kata Panembahan Podo masih dengan ketenangannya.
"Keparat! Aku tidak menyangka meluangkan waktu kemari hanya untuk sebuah pembangkangan." Pangeran Jayasabha mengumpat-umpat. Lalu memberi isyarat pada para prajurit untuk lekas pergi.
Panembahan Podo memandang kepergian tamu-tamunya dengan tetap tenang. Kuda-kuda gagah yang mereka pacu itu menghilang di belokan jalan, meninggalkan kepulan debu yang cukup pekat. Sepekat hati sang pangeran.
"Panembahan, apakah sikap Panembahan ini tidak berbahaya?" seorang cantrik mendekat.
Panembahan Podo memandang si cantrik. Seiring para cantrik lainm yang sedari tadi menyaksikan pertemuan di pendapa itu berdatangan mengumpul.
"Apa kalian takut pada Pangeran Jayasabha? Atau Gusti Prabu Kertajaya?" bertanya sang panembahan.
Para cantrik tidak ada yang langsung menjawab.
"Saya rasa kalian semua pun tahu, Gusti Prabu memegang tampuk kekuasaan dengan kejam dan tidak adil. Rakyat banyak menderita. Bahkan, Gusti Prabu mengaku jelmaan Dewa yang harus disembah. Apakah tidak wajar jika memantik api pemberontakan?"
Para cantrik mengangguk. "Tidak ada yang perlu ditakuti atas sebuah keyakinan kebenaran dalam bersikap," kata sang panembahan.
Cantrik yang tadi bertanya, yang memang paling sepuh di antara para cantrik lainnya, segera memberikan tanggapannya. "Saya mendukung sikap Panembahan Podo. Saya semakin kagum pada Panembahan, meski masih muda, tapi memiliki wawasan yang luas sekali."
"Sudahlah. Anggap tidak terjadi apa-apa di sini. Kembali bekerja. Kembali berlatih sastra. Kembali membaca naskah-naskah kitab lama untuk bekal hidup kalian. Dan sebagai bentuk kewaspadaan, kita juga tetap berlatih kanuragan."
"Siap, Panembahan."
Sebelum sempat para cantrik bubar, tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan seseorang. Semua mata mencari sumber suara tepuk tangan itu.
Entah dari mana, tiba-tiba di halaman padepokan muncul seorang pemuda berperawakan tegap bertepuk tangan. "Luar biasa, Panembahan Podo. Tidak salah orang-orang menyebutmu sebagai panembahan muda yang berwawasan tinggi."
Panembahan Podo melihat kedatangan pemuda itu lekas berkata, "Ada tamu rupanya. Silakan masuk."
Pemuda itu tertawa. "Terima kasih atas sambutannya, Panembahan. Terimalah salam hormat saya."
"Jangan sungkan. Masuklah."
"Saya tidak berlama-lama, Panembahan. Kedatangan saya sebagai bentuk dukungan atas sikap tegas panembahan atas ajakan Pangeran Jayasabha. Jangan takut pada Kerajaan Kediri."
Panembahan Podo tersenyum. "Apa yang kami takutkan? Kami mengambil sikap, kami akan mempertahankannya."
"Bagus," kata pemuda tegap itu. "Dan saya harap, Padepokan Kentang Sastra ini berkenan memberikan dukungan pada rakyat yang akan menghentikan segala ketidakadilan yang ada."
Panembahan Podo menatap wajah tamunya itu. "Kami hanya segelintir orang yang menyukai sastra, Kisanak. Biarkan saya dan para cantrik di sini belajar sastra. Kami tidak ingin ikut dalam hiruk-pikuk pertikaian sesama saudara, sesama orang Kediri."
Pemuda itu tertawa lagi. "Saya tahu, engkau pasti akan menjawab seperti itu. Saya hargai sikap Panembahan. Dan maaf sekali, saya tidak bisa berlama-lama. Saya mohon pamit...."
"Silakan, Kisanak."
Pemuda itu melangkah pergi. Sementara Panembahan Podo masih menatapnya sampai menjauh.
"Siapa pemuda itu? Apa ada yang mengenalnya?" tanya salah seorang cantrik.
Panembahan Podo yang menjawab. "Dialah yang akan memimpin pemberontakan rakyat. Dia berangkat dari Pakuwon Tumapel. Dia Akuwu Tumapel...."
Para cantrik saling pandang. "Ken Arok?"
30/10/2017 00:07
Saya niatnya mencoba mengerjakan Tantangan VI ODOP Batch 4, tapi jauh dari harapan dan belum sesuai tantangan, saya mohon maaf dan saya akan mencoba membuat fiksi lain untuk menjawab tantangannya. Jujur, saya belum begitu paham maksud tantangannya.
*Nama sang panembahan jika dibalik merupakan nama komunitas kita.
*Nama padepokan adalah kelompok yang terkeren di Batch 4. Hehe....
Get notifications from this blog
Mantap Bung
BalasHapusTapi nggak nyambung sama tantangannya, Pak bari...
HapusTantangan ke 4 apa sih? Hahahaha,,keasyikan baca ceritanya sampai lupa malah tantangannya apaan
BalasHapusTantangan ke 6 lho ya, bikin fiksi dgn tokoh yg deskripsinya dewa. Hahaha...
Hapuswowwww mengajak menggauli odop dan kelompok kita dengan lebih lagi. sangat terharu dan sukaaaaa bangat. tapi gak nyambung jg komen saya dengan naskah cerita yak. wkwkwkwk salam kenal sesepuh. saya anggota odop 7 siap mengulas cerpen ini untuk tugas mengulas historical fiction. salam
BalasHapusTerima kasih ulasannya Mbak Erlina. Top!
Hapus