Bukan Niatku Membunuhmu, Ibu
Serial Lembar Ibrah
Dalam kisah Saad bin Abi Waqqash Bukan Niatku Membunuhmu, Ibu
Dikisahkan oleh Suden Basayev
Hamnah binti Sufyan bin Abu Umayyah tidak menjumpai putranya, Saad, di ruang tengah, di halaman, bahkan di kandang unta. Ia pun menuju ke kamar Saad.
Sesampai di depan kamar Saad, perempuan paruh baya yang masih terlihat sisa kecantikannya di masa muda ini hendak mendorong daun pintu yang biasanya tidak pernah dikunci oleh sang anak. Tapi dorongannya terhenti. Pintu tidak terbuka. Hamnah tertegun, tidak biasanya Saad mengunci pintu kamarnya.
"Saad, Saad.... Apakah engkau di dalam, Nak?" tanya perempuan bangsawan Quraisy ini. Mencoba memastikan anak laki-lakinya itu ada di dalam atau tidak.
Sebelum ada jawaban dari kamar Saad, rasa penasaran perempuan ini menyeruak saat dilihatnya ada lubang kecil pada pintu yang bisa ia gunakan untuk mengintip ke dalam. Hamnah berhasil melihat ruangan kamar putranya.
Perempuan bangsawan Quraisy ini tersentak saat melihat apa yang dilakukan Saad di dalam kamar. Mendadak ia gemetaran. Secepatnya pintu diketuk-ketuknya dengan keras. "Saad, buka pintunya. Cepat!"
Tidak berapa lama kemudian pintu terkuak. Pemuda 17 tahun berwajah tampan itu agak terkejut karena sang ibu mengetuk pintu kamarnya sedemikian kasar. "Ada apa, Ibu?" tanyanya lekas.
"Apa yang kau lakukan di kamar? Mengapa kau sengaja mengunci pintunya? Jawab dengan jujur, Saad!" cerca Hamnah dengan luapan kemarahan.
Saad merasakan ada yang tidak beres. Pastilah ibunya tahu apa yang sedang dilakukannya di kamar. Tapi dia mencoba menjawab dengan tenang, "Saad tidak melakukan apa-apa, Ibu."
"Sudah, Saad. Tidak perlu kau menutup-nutupi apapun. Ibu melihat apa yang kau perbuat di dalam. Kau katakan saja apa yang kau lakukan!"
Saad tidak pernah melihat kemarahan seperti itu sebelumnya. Segera ia menjawab, "Maafkan saya, Ibu. Saya melaksanakan shalat...."
Bergetar tubuh Hamnah. "Kau mengikuti ajaran sesat Muhammad?!"
"Maafkan saya, Ibu. Saya menemukan kebenaran pada ajaran yang dibawa Rasulullah Muhammad. Saya meyakininya dan sudah memeluk Islam."
Kejujuran Saad membuat sang ibu terguncang. Hamnah jatuh sakit. Betapa kecewanya dia pada Saad. Putra yang sangat dikasihinya, disayang-sayang sejak kecil. Kini pemuda itu mengakui telah masuk agama baru yang dibawa Muhammad.
Saad membawakan makan untuk ibunya yang terbaring lemah di kamar. "Ibu, mari saya suapi. Ibu harus makan agar segera sembuh."
"Aku tidak akan makan apa pun, Saad. Kecuali kau kembali padaku. Tinggalkan ajaran Muhammad!" suara Hamnah bergetar. Lebih baik mati dari pada melihat Saad mengingkari ajaran nenek moyangnya.
Demikianlah, sejak tahu keislaman Saad, Hamnah mogok makan sebagai bentuk protesnya. Saad terpukul sekali dengan sikap sang ibu. Selama ini, ia adalah anak berbakti. Ibunya adalah orang yang paling dekat dengannya. Yang paling mengerti dan memahaminya. Tapi tidak untuk soal keislamannya.
Semakin hari keadaan Hamnah semakin parah. Seluruh keluarganya sangat mengkhawatirkan kondisinya yang kian lemah. Saad benar-benar diuji dengan keadaan ini.
"Makanlah, Ibu. Jangan lagi seperti ini," kesekian kali Saad membujuk.
"Aku begini karenamu, Saad. Apakah kau benar-benar tega membunuhku seperti ini?" desis Hamnah.
"Tidak ada niat seperti itu, Ibu. Saya sangat menyayangi Ibu."
"Omong kosong. Bahkan kau lebih sayang kepada Muhammad. Malang benar nasibku. Aku akan mati karena kebodohanmu."
"Ibu. Engkau tahu betapa Saad sangat menyayangimu. Tapi untuk keyakinan saya, tidak ada yang bisa menggoyahkan. Maafkan saya, Ibu. Sekalipun Ibu memiliki 100 nyawa, lalu satu per satu nyawa itu keluar, itu tidak akan pernah bisa memaksa saya meninggalkan Islam, Ibu."
Kata-kata Saad begitu tegas. Ibunya menangis. Ia benar-benar telah kehilangan Saad. Hamnah akhirnya menyerah. Ia telah gagal memaksa sang anak kembali kepada ajaran nenek moyangnya. Akhirnya suapan makanan Saad diterimanya.
Get notifications from this blog
Membaca tulisan catatan basayev, seolah saya dibawa ke kota kecil yang berbeda setiap harinya...
BalasHapusKarena selalu ada cerita baru yang berbeda..
Kampung kecil aja mbak. Lebih asri... Hehe. Makasih kunjungannya. Sebentar saya bikinin teh hangat.
HapusEnak dibaca.. bisa nulis begini butuh latihan berapa lama yak😊
BalasHapusSesering mungkin. Hehe. Saya jg masih belajar kok...
HapusHeu 100 nyawa..
BalasHapusIbrahnya kita ambil kak...
HapusMasya Allah
BalasHapusasli, gurih tulisannya
ciri tiada 'micin' di dalamnya
Suden Basayev itu nama pena atau asli?
teringat temen saya orang lembang yang namanya "Glosevic"
wkwkwk
Hihi, padahal tak banyakin micin...
HapusSuden Basayev itu nama pena kok.
pertama membaca tulisan mas Wakhid itu mengenai hari ulangtahun pernikahan. dan sampai saat ini saya selalu penasaran dengan tulisan-tulisan mas Wakhid setiap harinya. mungkin aku bisa menjadi pengagum karya-karyamu mas..
BalasHapusKutersanjung. Hihi. Saya masih belajar mbak. Ini aja mumpung semangat nulis gara2 odop.
Hapustulisannya selalu membuatku tercenung ....
BalasHapusMaaf ya mas Dwi, bikin tercenung.
Hapus