√ Mereka Membantai Saya Habis-Habisan - Halaman Rumah Syamsa

Mereka Membantai Saya Habis-Habisan



Padepokan Kentang sejenak hening. Bukan karena ditinggal pergi para penghuninya. Justru mereka tengah berkumpul di ruang aula pertemuan. Keempat guru terlihat duduk bersila di depan para cantrik yang tengah dikumpulkan. Mereka adalah Guru Syaiha, Guru Ik, dan Guru Nova yang terlihat kurang sehat. Sementara Guru Mabruroh tampil sebagai pemandu pertemuan.

"Malam ini, kita berkumpul di sini, bukan tanpa keperluan," Guru Mabruroh mulai berkata-kata penuh wibawa. Matanya tajam memandang ke arah salah satu cantrik yang didudukkan di tengah-tengah aula, di antara para guru dan cantrik lainnya.

Cantrik itu adalah Wakhid. Dia terpekur menatap lantai. Ia sadar menjadi sorotan malam ini.

"Kau tahu mengapa kau didudukkan di situ?" tanya Guru Mabruroh ditujukan pada Wakhid.

"Ampun, Guru," kata cantrik bernama Wakhid itu. "Saya di sini untuk mempertanggungjawabkan tentang nasib Emak yang merasa tidak betah ikut anaknya di tempat indah yang disebutnya istana. Saya siap menerima segala wejangan."

"Bagus. Dan siap tidak siap, kau harus legawa jika kami semua akan memojokkanmu."

"Guru Mabruroh." Guru Syaiha angkat suara. "Tidak perlu berlama-lama. Mulailah."

"Baiklah. Para cantrik semua. Di depan kalian ada teman kalian yang telah dengan sengaja menyesatkan seorang Emak. Silakan kalian berikan urun rembuk tunjuk ajar."

Beberapa saat para cantrik saling pandang. Seorang cantrik bernama Nazfa tampak membolak-balikkan halaman sebuah Kitab KBBI. "Guru, tidak seharusnya dia menggunakan kata "sekedar". Menurut KBBI, harusnya "sekadar". Dia bersalah untuk hal ini, Guru."

"Bagus," sambut Guru Mabruroh. "Kalian ingat ini. Jangan pakai "sekedar", yang benar "sekadar"! Paham?"

"Paham, Guru," nyaris serentak para cantrik menjawab.

Nazfa melirik Wakhid. "Maaf, aku tidak bermaksud tak sopan."

"Tidak perlu meminta maaf, Nazfa!" terdengar Guru Syaiha berkata dengan nada agak keras, saat melihat kesungkanan Nazfa.

"Iya, Guru. Sama kata-kata seperti 'ndak', harusnya dimiringkan. Itu kan sudah terpengaruh bahasa daerah," kata Nazfa pula.

"Iya. Itu juga benar. Semua kata dari bahasa daerah harus dimiringkan," simpul Guru Mabruroh.

Cantrik lainnya, bernama Rahayu, terlihat tidak tenang duduknya. "Ada apa, Rahayu?" tanya Guru Mabruroh melihat itu.

"Ampun, Guru. Sudut pandang orang keduanya bagus. Bahasanya pun mengalir," kata Rahayu segera.

"Kau membelanya?" sentak Guru Mabruroh.

"Ampun, bukan maksud saya begitu, Guru."

"Ya, sudah. Sekarang aku tanya. Apa maksudmu membuat si Emak tersesat segala macam? Apa pesan yang hendak kau sampaikan?" bertanya Guru Mabruroh pada Wakhid.

"Saya hanya ingin agar semua orang bisa memahami perasaan ibu kandungnya, Guru. Apakah itu salah?" Wakhid menjawab dan membalikkan tanya.

"Seharusnya kau tambahi konfliknya," sahut Rahayu. "Apalagi kesannya menggantung, tidak selesai."

"Benar, aku juga belum bisa menangkap pesannya," cantrik bernama Isnaini ikut menanggapi. "Tapi aku bisa mengerti jiwa Emak."

Nurul, cantrik lainnya tak mau ketinggalan. "Titik-titik apa harus tiga kali?"

"Iya. Titik-titik harus 3 kali. Kalau di akhir tambahi 1 lagi sebagai penutup," jawab Wakhid.

Guru Nova ikut berbicara. "Berilah catatan pada kata-kata yang berbahasa daerah, lalu diberi penjelasan di bawah!"

"Iya, Guru."

Guru Mabruroh melihat sekeliling. "Aku tidak melihat Sovia. Mana dia?"

"Sedang di bilik dapur memasak mie, Guru," menjawab salah satu cantrik.

"Baiklah. Aku juga perlu memberikan wejangan." Guru Mabruroh kembali memandang ke arah Wakhid. "Pembukaanmu seharusnya jangan terlalu panjang."

"Iya, Guru."

"Kepanjangan nanti membuat malas orang-orang," Guru Syaiha menyahut. "Padahal awal itu menjadi penentu lanjutannya."

"Guru, apakah kitab KBBI harus jadi acuan?" bertanya cantrik bernama Uky sambil melirik Nazfa yang selalu menenteng kitab itu.

"Itu harus jadi pegangan, Uky," menyahut cantrik lain, namanya Dwi.

Guru Ik angkat bicara. "Kitab KBBI dan sebangsanya kadang tidak perlu kita jadikan aturan wajib jika kita bisa memilih sesuka kita. Meskipun kita memang sebaiknya mengikuti aturannya."

"Aku juga tidak menjumpai Emak pakai jarit dan berbahasa daerah," kata Guru Syaiha pula. "Harusnya itu ada!"

Malam kian larut. Suasana di aula padepokan masih terlihat seru. Semua mengulas ulah Wakhid yang menyesatkan seorang Emak yang tidak kerasan bersama anaknya.

"Baiklah. Sudah larut. Semoga kalian bisa ambil pelajaran ini semua," kata Guru Mabruroh akhirnya.

"Saya akan memperhatikan semua wejangan, Guru," kata cantrik bernama Wakhid itu dengan kelegaan.

Maka demikianlah, suasana malam menyelimuti padepokan Kentang.

***

Terima kasih buat masukan para admin dan teman-teman ODOP Batch 4 di grup Kentang atas cerpen saya berjudul Istana pada acara Bedah Karya tertanggal 26 September 2017. Segala masukan sangat saya hargai. Judul post agak berlebihan, ya? Abaikan sajalah. Sedikit saya simpulkan di sini, ya...

1. Paragraf pembuka jangan terlalu panjang, agar pembaca nyaman untuk melanjutkan paragraf berikutnya.

2. Penggunaan bahasa daerah ditulis miring (italic) dan lebih baik lagi diberi tanda (footnote) dan diberi penjelasan di bawah.

3. Perhatikan ejaan yang benar, seperti sekadar (bukan sekedar), silakan (bukan silahkan), atau peduli (bukan perduli).

4. Jadikan acuan KBBI, EYD, PUEBI agar tulisan kita beraturan, meski boleh saja kita pakai pilihan kata sesuka kita.

5. Jangan sering terjebak menggunakan kata 'dan', 'ku', 'mu' dsb dengan komposisi terlalu sering bahkan berlebihan. Misal setelah titik pakai 'dan', di kalimat berikutnya pakai 'dan' lagi.

6. Tulisan bersifat telling sebaiknya dialihkan ke showing. Kita tidak perlu mengatakan tokoh utama repot di jalan, tapi cukup gambarkan saja bagaimana orang repot di jalan. Tidak perlu bilang tokoh marah, tapi ceritakan bagaimana seseorang sedang marah.

7. Untuk cerita yang bersetting daerah atau tokohnya dari daerah tertentu, ada kalanya perlu ditunjukkan dialog berbahasa daerah tersebut, dengan catatan artinya tentu saja.

Barang kali itu sedikit yang bisa saya tangkap dari wejangan kritik dan saran para admin dan teman-teman di grup Kentang. Semoga semua ini bermanfaat.

Yuk, terus berkarya. Terima kasih.

Get notifications from this blog

19 komentar

  1. Wah, mas Wakhid langsung di-update ke blog hasil bedahnya. Kreatif cara penyampaian model fiksi.

    BalasHapus
  2. Weleh ... Jadi postingan nih. Apapun, kita sama-sama belajar ya mas :)

    BalasHapus
  3. Ngakak bacanya, kreatif, unik! ampun mas cantrik, saya lagi berperan sebagai guru :D

    BalasHapus
  4. Saya nyengir2 baca ini... Keren mas... Beda memang kalau sudah mastah ya, salut....

    BalasHapus
  5. Benar kata saya, mas Wakhid ini penyusup =D
    Penulis pro yang pura-pura menjadi cantrik di padepokan ODOP :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas Heru, banyak belajar dari blog mas Heru yg keren punya...

      Hapus
  6. Luucuuu... Hihihi besok giliran saya disidang para cantrik ini mas..

    BalasHapus
  7. Wow...
    Peristiwa biasa dijadikan adegan yang sangat istimewa...

    :)

    Selalu suka cara pandang Mas Wakhid dalam menceritakan sesuatu...

    Sukses selalu!

    BalasHapus

Jangan lupa beri komentar, ya... Semoga jadi ajang silaturahim kita.