√ Maaf - Halaman Rumah Syamsa

Maaf



Sahabatku. Tekadku sudah bulat. Aku akan pulang menemuimu. Meminta maaf atas kesalahanku padamu. Kesalahan fatal dalam hidupku yang berakibat rusaknya hubungan persahabatan kita. Keterlaluan, sudah lebih dari dua tahun kita terpisah dengan beban dendam di hati. Mungkin hanya aku yang mendendam, kau mungkin sudah melupakannya. Kau yang kukenal adalah seorang pemaaf. Tak mungkin kau membiarkan penyakit hati itu menggumpal di hatimu.

Kereta api Argolawu yang kutumpangi melesat begitu cepat. Kunikmati acara televisi kabel yang ada tepat di depan tempat dudukku. Memutar lagu-lagu religi terbaru band-band tanah air. Tapi anganku sudah melayang jauh ke kampung halaman di Klaten sana. Jadwal kereta yang kutumpangi akan mengantarkanku sampai di stasiun Klaten sekitar jam tiga malam.

Besok lebaran. Tadi puasa terakhir di Ramadhan tahun ini. Aku sengaja pulang mengakhirkan bulan Ramadhan seperti ini. Yang jelas aku kangen suasana Idul Fitri di desaku nan permai. Dua kali lebaran kunikmati di Jakarta. Kadang aku merasa keterlaluan juga, dua tahun lebih aku tidak pulang. Padahal berapa lama sih jarak yang harus kutempuh sekedar Jakarta-Klaten. Tapi aku merasa tak ingin bertemu kau, Sahabatku. Aku masih terlalu bodoh dengan dendamku yang tak seharusnya selalu kusimpan.

Dua tahun berlalu dari saat pertengkaran hebat itu. Aku masih ingat bagaimana kepalan tanganku membuat hidung dan mulutmu berdarah-darah dengan beberapa kali pukulan. Gila! Aku sama sekali tak menyangka aku senekat itu dulu. Kita dua sahabat. Dari kecil selalu bersama. Tapi masalah itu mampu membuatku kehilangan akal sehat. Kita berkelahi. Aku yang memulai. Kau hanya membela diri. Tapi kekuatanku di atas kekuatanmu. Apalagi setan yang menguasai otakku membantu dengan power iblisnya. Kau kutinggalkan terkapar di ruang tamu rumahmu. Tempat yang sering kita gunakan bermain sewaktu kecil. Lalu aku minggat dari rumah. Jadi pencarian orang sekampung karena Ibu meraung-raung merasa kehilanganku.

Aku nekat ke Jakarta. Padahal tak jelas siapa yang kutuju sesampai di kota metropolitan itu. Naik kereta ekonomi dengan sisa uang yang kupunya. Turun di stasiun Pasar Senen. Menggelandang di situ. Berkawan dengan gembel-gembel Poncol. Hidup dari hasil mengamen dari atas metro mini satu ke metro mini yang lain. Lebih dari dua bulan kulalui begitu. Menderita memang. Tapi aku tak mau kalau harus pulang ke Klaten dan bertemu warga kampung yang pasti memandang buruk tindakanku padamu, Sahabatku. Ya, memang buruk dan keterlaluan.

Selanjutnya aku berkenalan dengan Uda Rizal, seorang pedagang di blok 3 Pasar Senen. Di lapak para pedagang pakaian bekas pakai inilah aku mulai menata hidupku. Uda Rizal yang asli Bukittinggi Sumatera Barat itu menawari pekerjaan padaku. Menjaga salah satu lapaknya di bawah lokasi anggar di blok 4. Aku tak menyangka ada yang masih mempercayaiku. Orang Minang lagi. Padahal watak mereka lebih kukenal tidak tahu kawan dalam berbisnis. Tapi beda rupanya dengan sosok Uda Rizal.

Lapak yang kujaga dengan dagangan tas bekas pakai ternyata cukup ramai. Meski letaknya di blok 4 yang terkesan kurang strategis di mata para pedagang, tapi omzetku selalu lumayan. Uda Rizal senang sekali. Makin percaya dia padaku. Aku juga tahu diri untuk berusaha jujur dan bertanggung jawab atas kepercayaan ini. Tak mungkin aku jadi pengkhianat dengan menilep uang dagangan yang begitu saja dipercayakan untuk kubawa sampai sore tiba untuk selanjutnya baru kusetorkan. Uda Rizal memberiku uang sebagai upah setiap sore usai tutup. Jumlah yang cukup untuk makan dan sedikit tersisa untuk kutabung.

Selanjutnya aku bisa mengontrak sebuah kamar di bilangan Cempaka Putih. Meski berdua dengan seorang teman dari Padang juga. Anak buah Uda Rizal juga yang membantu di blok 3. Namanya Alfendi. Panggilannya singkat, Al saja. Kadang kucandai dengan Si Al. Si pembawa sial, hehe.

Hidupku mulai terarah. Ternyata bakat dan rezekiku ada di sini. Dagang di lapak kaki lima. Pasar Senen yang memang kondang dengan pakaian seken benar-benar ladang subur. Uda Rizal senang dengan cara kerjaku. Pelangganku cukup banyak. Tak tanggung-tanggung, beberapa pelangganku malah dari kalangan artis. Mereka yang ‘tahu barang’, meski bekas tak jarang tas fashion yang kujual di atas harga seratus ribu mereka bayar. Malah aku pernah menjual tas bermerk Prada seharga 300.000 kepada seorang aktris yang baru naik daun.

Setahun berlalu dari saat aku tinggalkan Klaten. Ada seorang tetangga yang berjualan buku di kawasan terminal Senen yang mengetahui keberadaanku. Lewat dia aku pernah sekali dua kali mengirim uang untuk orang tuaku di kampung sana. Dan berpesan agar tak perlu khawatirkanku. Aku pasti pulang, tapi entah nanti kapan.

Sahabatku. Rasa dendam di hatiku tetap membara meski setahun lewat. Baru suatu kali aku merasakan arti persahabatan sejati yang pernah kita jalin setelah aku merasa tertipu oleh sebuah persahabatan palsu. Si Al memang pembawa sial. Kami satu kamar seharusnya sudah saling percaya. Tidur di tempat sama tapi dia tega menikam dari belakang. Benar-benar tak tahu diri, remaja tanggung itu tahu-tahu kabur dan melarikan uang yang selama ini kukumpulkan. Ia tahu aku menyimpan uang di antara lipatan baju di lemari kecilku, dan keji sekali ia tega mengambil dan membawanya kabur. Dasar tak tahu diuntung, ternyata uang setoran ke Uda Rizal omzet tiga hari dagang yang ia bawa karena Uda Rizal pulang ke Padang, turut ia bawa kabur juga. Uda Rizal sempat kaget juga mengetahui kelakuan Al. Tapi dari kejadian itu, Uda Rizal justeru makin percaya padaku.

Aku jadi teringat kamu, Sahabatku. Waktu kita kecil dulu, kita ibarat tak pernah terpisah. Selalu bersama. Sukamu adalah gembiraku dan dukamu adalah bebanku juga. Itu sebenarnya persahabatan sesungguhnya. Aku baru sadar tak mudah mencari sahabat sepertimu. Tapi semua remuk dengan munculnya permasalahan kita. Aku memang keterlaluan. Aku mulai berpikiran untuk pulang menemuimu dan meminta maaf segala kesalahanku padamu. Apapun yang akan kau lakukan atasku aku rela nanti. Mau kau balas pukulan-pukulan yang pernah kumuntahkan pun aku siap. Demi kemaafan darimu. Aku benar-benar insyaf.

Tahun ini aku benar-benar serius mengumpulkan uang untuk mudik. Tak ada lagi hura-hura. Hobi nonton tiap ada film baru di Atrium pun aku kurangi. Bahkan sangat jarang aku nonton. Ajakan refreshing ke Dufan teman-teman sudah jarang kuturuti. Kami sebelumnya sering main ke Dufan. Melepas penat dan memanjakan diri di dunia penuh fantasi di kawasan pantai Ancol itu. Menguji adrenalin kami dengan aneka wahana menegangkan di sana. Aku selalu ketagihan naik Kora-kora. Kapal gede yang diayunkan sedemikian rupa…

Keluar malam menikmati Jakarta pun mulai kukurangi. Sering uangku habis tak terkontrol. Niatku pulang membuatku harus menabung dengan baik. Hasilnya, aku siap pulang tahun ini. Bahkan bukan kereta ekonomi yang akan mengantarku ke Klaten. Tak juga sekedar Senja Utama. Aku bisa naik Argolawu. Senang sekali. Orang tuaku pasti akan bahagia menyambutku. Aku juga membayangkan pertemuan denganmu, Sahabatku. Semoga kau sudi memberikan kemaafanmu padaku.

Aku yakin kau pasti mudah memberiku maaf. Kau satu-satunya temanku yang benar-benar paling alim. Ketika aku dan teman-teman lain yang asyik menikmati remaja dengan semangat hedonisme, kau malah aktif di masjid. Kau malah sibuk mengurusi TPA. Aku salut  juga padamu. Dan sejak itu awalnya aku kurang akrab denganmu karena jalan kita sedikit berseberangan. Sampai muncul masalah itu. Masalah yang membuat runtuh jalinan pertemanan kita. Ah…, makin kangen Klatenku…

Aku membayangkan besok pagi di lapangan tempat shalat Id dilaksanakan di kampung kita. Kita akan bertemu. Aku akan meminta maaf itu. Sungguh…, aku menyesali semua salahku padamu di masa lalu.

Kereta Argolawu singgah sejenak di stasiun Jogja. Sesaat lagi aku akan sampai di kampung halamanku. Aku tak membiarkan mataku terkatup sejenakpun. Aku nikmati perjalanan Jogja-Klaten ini. Duh, begini rasanya kangen yang mendalam. Selamat datang kembali di Klaten.

Kujejakkan kaki turun di peron stasiun Klaten. Hawa dingin lagsung menyambut. Jaket Puma yang kupakai kueratkan. Tas ransel cukup besar menggayut di pundakku. Ramai sekali stasiun. Tentu saja, ini hari lebaran. Aku lekas keluar disambut para tukang ojek dan becak yang menawarkan jasa.

Aku memilih naik becak. Tak jauh kok kampungku dari kawasan stasiun Klaten. Mataku berkeliling menikmati suasana jelang pagi di hari lebaran. Suara takbiran dari masjid dan surau sekitar terdengar saling sahut. Suasana tak tergantikan. Hatiku dipenuhi keharuan dan buncahan kangen yang menemukan penawarnya. Klatenku tetap seindah dulu. Aku benar-benar menikmati nostalgia ini…

Tak sampai seperempat jam becak yang kutumpangi mulai memasuki perkampungan tempat lahirku. Dari gapura masuk, jalanannya, rumah-rumah warga, tak banyak yang berubah dari semenjak kutinggalkan dulu. Di perempatan kampung tampak ada beberapa remaja nongkrong di brak siskamling sambil main gitar. Ada bau alkohol menyeruak. Memang remaja kampung sekarang sudah mengenal minuman haram itu. Juga aku sejak masih di kampung dulu. Sebuah kenyataan yang memang ada sebagai efek samping kemajuan zaman barang kali. Aku menyapa mereka dengan anggukan kepala. Mungkin mabuk terlalu banyak minum jadi tak ada yang ingat ataupun mengenaliku. Padahal sebagian mereka juga temanku nongkrong dua tahun lalu.

Aku tak begitu pedulikan mereka. Pikiranku melayang ke rumahku. Ibu pasti kaget dengan kepulanganku, karena aku belum mengabarkan aku pulang lebaran ini. Kejam memang, aku tak terlalu menganggap perasaan hati orang tuaku. Ah, kangen pada keduanya pun tetap ada. Aku tetap darah daging beliau berdua. Sebadung apapun aku.

Hanya melewati satu perempatan kecil lagi, aku sampai di pekarangan rumahku. Rumah tempatku kecil dan dibesarkan. Tempat orang tuaku benar-benar mencurahkan kasih sayang padaku. Tempat terindah bagi hatiku. Tempat yang tak sepantasnya kutinggalkan begitu saja selama lebih dari dua tahun.

Dari masjid yang berdiri di tengah kampung, masih terdengar gema takbiran membahana. Menguasai malam sebenar-benarnya. Aku tersenyum, di antara suara itu aku masih mengenali suaramu, Sahabatku. Ah, jam segini engkau masih asyik di masjid. Bersama-sama kelompok ngajimu barang kali menikmati suasana malam Idul Fitri.

Kuhentikan becak yang mengantarku pas depan pagar masuk rumahku. Setelah kuberikan ongkos, bapak-bapak pengayuh becak itu berlalu kembali ke stasiun mencari penumpang lain lagi. Dan sejenak aku berdiri mematung memandangi rumah yang dua tahun lebih ini kutinggalkan. Nyaris tak berubah. Tentu semakin menguatkan ingatanku pada masa lalu. Tak sabar aku ingin segera bertemu para penghuninya, keluargaku.

Kuketuk pintu dan kuucap salam. Suara Bapak yang terdengar menyahut. Lalu terkuak pintu, tampak lelaki sepuh itu tertegun memandangiku. Sontak kupeluk beliau. Erat sekali. Aku ditariknya masuk, sambil mulut beliau berseru memanggil-manggil Ibu. Tak lama Ibu keluar dari kamar. Melihat siapa yang datang, beliaupun lekas menyerbu ke arahku. Peluk cium wanita yang melahirkanku teriring tangisan bahagia menyambut kembalinya aku, sang anak yang tak tahu diri.

***

Gema takbir pagi Idul Fitri menggema di seluruh dunia. Membawa nostalgia tersendiri bagi jiwa-jiwa yang bersemayam iman di dalamnya. Lebaran adalah suasana tak tergantikan. Tak ada yang lebih indah dari hari besar ini. Dimana perantau mampu terpanggil pulang kembali ke kampung halaman. Mengeratkan lagi silaturahim.

Aku berangkat ke lapangan untuk shalat Id bareng Bapak dan Ibu. Juga adik lelakiku yang masih sekolah kelas tiga SMP. Ah, mengapa aku tega dua kali lebaran tidak bersama mereka…

Kembali aku ingat kau, Sahabatku. Engkau pasti sibuk membantu persiapan pelaksanaan shalat Id bersama takmir masjid yang lain. Sayang aku tak bisa hadir lebih awal jadi tak sempat menemuimu sebelum sholat hari raya. Tapi tak mengapa, toh sebentar lagi aku bisa menemuimu.

Aku berada di shaf belakang. Engkau pasti ada di deret shaf terdepan. Ah, kuharap nanti kau sudi menerima permintaan maafku…

Imam mulai berseru untuk memulai sholat. Shalat berjamaah yang memberi keceriaan pagi ini pun berjalan lancar. Dilanjut khotbah. Dan semua berakhir sudah. Selanjutnya jamaah saling bersalam-salaman sebelum pulang. Tawa menghias di sana-sini. Kentara juga keceriaan teman-teman lama yang setahun tak saling jumpa. Saling bertukar warta. Tak sedikit yang menyalamiku dan menyambut gembira kepulanganku.

Aku lekas merangsek ke depan. Kulihat sosokmu di dekat mimbar sedang merapikan tikar. Tepat di dekatmu aku sebut namamu. Kau menolehku dan tampak keterkejutan itu. Lekas dari mulutku terucap permintaan maaf. Kau langsung memelukku. Kubalas pelukanmu. Dari mulutmu terucap hamdalah. Kau senang aku pulang. Tak ada dendam pada sikapmu. Jamaah di sekitar kita tampak turut tersenyum. Apalagi yang tahu masalah yang pernah menimpa persahabatan kita.

Tak lama terdengar suara lembut meyebut namaku. Suara yang terlalu kukenali. Kutoleh pemilik suara itu. Wanita muda berwajah rupawan yang masih mengenakan mukena dengan menggendong bocah usia setahunan lebih. Wanita itu tampak tersenyum padaku dengan mata berkaca-kaca. Sekali lagi ia sebut namaku dan bertanya kapan aku sampai di rumah. Ya Allah… Kutoleh kau, Sahabatku. Engkau lekas mendekati wanita jelita bermukena itu. Lalu meminta bocah yang ia gendong itu untuk gantian kau gendong. Kalian memang serasi. Pasangan yang benar-benar pantas dan tampak sempurna. Tampan dan jelita. Shaleh dan shalehah.

Aku tak sanggup berkata apa-apa. Hanya teringat lagi masa lalu, saat emosiku memuncak karena menganggap kau telah merebut wanita itu dariku, Sahabatku. Konyol dan bodoh, padahal wanita itu memang lebih mencintaimu dari pada aku. Aku yang tak siap kalah dalam bersaing denganmu memperebutkan cintanya, lantas membentuk gumpalan dendam tak sepantasnya di hatiku yang berpuncak insiden pemukulan itu. Sahabatku, maafkan aku… Tak terasa air mataku mengambang. Kucoba tersenyum untuk kalian.

Minal aidzin wal faizin. Mohon maaf lahir dan batin. Menyambut Idul Fitri 1431 H.
Cerpen lawasku yang pernah dimuat Annida Online 09 Sept 2010

Get notifications from this blog

Jangan lupa beri komentar, ya... Semoga jadi ajang silaturahim kita.