Klinik Batuk Shaun the Sheep
"Bang, Dedek musti diperiksain, nih...."
Tuhan..., adakah derita dilema yang lebih dari ini?
"Jatah belanja beras buat periksa aja nggak apa, Bang."
Sayang, Abang tidak memegang sepeser uang pun! Tapi lidahku terlalu kelu untuk mengatakan itu. Kutatap istriku yang kian kurus, yang terlihat sangat capek, yang memeluk Dedek dalam gendongan, berharap si imut yang baru saja terlelap itu tetap nyaman.
Apa daya. Aku belum berbuat apa-apa. Bahkan menjawab perkataan istriku. Bayi empat bulan belahan hati kami itu terbangun karena tenggorokannya gatal. Terpingkal batuk yang menyiksa, wajah kecil itu tanpa daya, merah merona karena energi terkuras untuk batuk. Dahak yang tak kunjung termuntahkan meski si kecil sampai menangis sebegitu mengiris kasihan. Ibunya hanya bisa berusaha membantu memijat dan menepuk pelan bagian tengkuk agar dahaknya bisa dimuntahkan bersama batuk. Sia-sia, tangisan makin menjadi. Hanya ASI -yang entah masih bisa disedot atau tidak itu- yang mencoba menenangkan Dedek sekelar siksaan batuk yang begitu membuat iba.
"Ini sudah hari kelima, Bang. Saya benar-benar tidak tega melihat Dedek tersiksa begini, Bang...." Bulir bening itu mengaca di bola mata lelah istriku. Tuhan, mengapa hanya kebuntuan yang Kau hadirkan di otakku ini?! Sudah tidak mampukah Engkau menolong hamba-Mu? Tolong hamba, Tuhan! Atau, pindahkan saja siksaan batuk Dedek padaku. Biar aku yang menanggung! Apa Kau tidak kasihan menyiksanya begini, Tuhan?
"Iya, kita ke klinik."
"Abang ada uang, kan?"
Aku diam. Aku tahu, aku tak harus diam.
"Aku akan pinjam Bang Jalu."
"Hutang Abang ke Bang Jalu sudah menumpuk," istriku mengingatkan.
"Tak ada pilihan lain, Nik. Bersiaplah, sebentar lagi aku kembali."
***
Hujan turun rintik. Klinik Dokter Hari mengantri. Bangku panjang di depan loket pendaftaran sudah dipenuhi pasien lain. Aku dan istriku berdiri bersandar ke dinding bangunan. Dedek masih terhibur dengan menetek ibunya. Ah..., bukankah di rumah hanya ada nasi sedikit yang tak mengenyangkan perut istriku saat kutinggal mencari rezeki tadi? Dari mana sumber ASI yang kau isap, Dedek? Maafkan bapakmu yang keterlaluan melaratnya ini, Sayang....
"Sayang anak... sayang anak...," suara seorang lelaki paruh baya yang tengah menjajakan dagangan. Aku tak begitu menggubrisnya karena memang tak perlu.
Dedek terbangun. Ah, sial tuh laki! Suaranya mengagetkan Dedek. Ingin kuumpat saja lelaki paruh baya itu, menumpah ruah kekesalan akan kesukaran hidup. Tidak, aku menahannya. Iman masih bersemayam di jiwa rapuhku!
"Sayang anak, Pak..., belikan bonekanya. Lucu-lucu... lagi laris-larisnya ini. Boneka lucu Shaun the Sheep...," si lelaki itu berkata padaku. Menunjukkan koleksi boneka yang ia panggul dalam kantong plastik bening seukuran karung beras. Boneka berbentuk anak domba berwarna hitam dan putih itu terulur dari tangannya. Mencoba menggerak-gerakkan di depan Dedek yang terbangun.
"Enggak, Pak, terima kasih...," kataku segera. Berharap tuh lelaki lekas menyingkir dari hadapanku.
"Uhh..., uh...," suara Dedek. Tak kusangka, Dedek begitu tertarik dengan boneka itu. Matanya memandang penuh binar meski wajahnya kuyu. Tangannya meraih-raih ke arah boneka domba yang diangsurkan si lelaki penjual.
Istriku lekas menarik tangan Dedek. Mencoba mengalihkan perhatian Dedek dengan memiringkan badan ke arah lain. Tapi Dedek meronta mencari boneka itu. Tangisnya pecah, dan baru mereda begitu menemukan boneka itu pada pandangannya.
"Maaf, Pak, kami tidak minat beli. Maaf sekali, ya...," kataku pada si lelaki paruh baya, berharap dia mengerti dan pergi.
"Belikan, Pak, anaknya suka, tuh...!" Penjual itu mencoba membujukku. Ah, tidak tahu keadaan orang!
"Tidak, Pak. Maaf, ya...!"
Si lelaki sedikit menggerutu. Ia memang lantas pergi dariku, tapi tidak beranjak jauh, hanya berpindah ke arah pasien lain yang mengantri. "Sayang anak... sayang anak...!"
Sialnya, Dedek terus menangis melihat boneka domba itu menjauh darinya. Ibunya memaksa agar ia menetek lagi. Akibatnya malah Dedek batuk dengan hebatnya! Ya Allah..., tukarlah sakit Dedek dengan kesehatanku!!
***
Alhamdulillah, ternyata segala syak prasangka burukku pada Allah tak selalu terbukti. Allah masih menurunkan kemudahan-Nya. Dedek sembuh setelah dua hari meminum obat dari klinik Dokter Hari. Batuk yang menyiksanya sirna. Dahak yang mengganggu napasnya pun terserak keluar setelah beberapa kali batuk. Dedek sudah ceria kembali. Saat seperti inilah terasa malu pada Allah atas segala ketidaksabaranku selama menghadapi Dedek batuk. Ampuni aku, ya Allah. Aku memang bodoh dan rapuh.
"Abang mau ke mana?" istriku bertanya, saat aku mengenakan jaket lusuhku. Azan Magrib berkumandang bersahutan.
"Tadi Abang ketemu Mang Gugun. Abang disuruh ke kontrakannya."
"Abang tidak salat dulu? Sudah azan tuh!"
"Abang mampir masjid. Baru ke kontrakan Mang Gugun."
Istriku mengangguk. Aku lekas beranjak diiring pesan wanita paling sabar sedunia itu agar berhati-hati.
***
Kontrakan Mang Gugun di bilangan Gembreng, kawasan tepi Kali Sentiong. Usai mampir salat Magrib di masjid, aku bergegas ke kontrakan sederhana si mamang Sunda itu.
Terlihat Mang Gugun sedang mengepak barang ke dalam kardus bekas mie instant. "Mau pindahan ke mana, Mang?" tanyaku.
"Ee... kamu, Dar. Silakan masuk...." Mang Gugun menyilakanku. Tangannya masih asik mengikat kardus dengan tali rafia.
"Assalamualaikum," salamku seraya melangkahkan kaki masuk kontrakan sederhana itu. Kontrakan hanya sebuah kamar berukuran 3x4 meter dengan desain serba guna. Ruang tidur, ruang makan, bahkan ruang untuk menyambut tamu. Hanya kamar untuk mandi yang tidak memungkinkan di ruangan ini. Hal lazim di ibukota.
"Waalaikumsalam. Pilih tempat sendiri, Dar. Biasa, berantakan."
"Biasa sajalah, Mang. Ini ceritanya mau pindahan atau gimana, nih?"
Kelar mengikat satu kardus, Mang Gugun langsung menjawab, "Istri Mamang di kampung nelepon, anak lagi sakit, Dar."
"Oh? Jadi Mamang mau mudik?"
"Mau nggak mau, demi anak, Dar."
"Anak saya juga baru sembuh dari batuk, Mang. Kasihan, ya, lihat buah hati sakit."
"Iya, Dar. Makanya, Mamang manggil kamu kemari. Ceritanya, kemarin Mamang terlanjur belanja dagangan. Nah, berhubung nggak pasti Mamang di kampungnya berapa lama, makanya Mamang mau minta tolong ke Dar buat jualin dagangan. Setahu Mamang, mah, Dar lagi nggak ada kerja."
"Iya, nih, Mang. Mau bertahan di Senen juga nggak mungkin. Tahu sendiri, sejak pasar digusur dan pedagang diberi tempat gedung bekas Ramayana dan Matahari, pasar berubah sepi kayak kuburan. Harga bal-balan pakaian seken melangit, tapi isinya jelek semua, dari mana bisa balik modal pedagang."
"Iya, Mamang paham. Jakarta bukan tempat mengeluh, Dar. Percuma tak ada yang mau dengar."
"Iya, Mang."
"Nah, mulai besok kamu bisa keliling menjajakan dagangan Mamang. Insya Allah barangnya lagi laris-larisnya saat ini."
"Dagangan apa, Mang?"
Mang Gugun bergeser menarik sebuah karung lumayan besar. Lalu membuka ikatannya.
"Ini... boneka yang lagi tren. Mamang tiap hari bisa menjual lumayan, Dar, meski hanya keliling dan tidak punya tempat tetap. Kamu bisa naik-turun metromini, atau keliling di Senen. Ke stasiun pun boleh. Mamang yakin rezekimu akan baik dengan menjualkan dagangan Mamang. Nanti, Mamang bagi hasil denganmu."
Mang Gugun mengeluarkan barang-barang dalam karung itu. Aku terbelalak dan mendadak ingat kejadian di klinik saat Dedek sakit.
"Shaun the Sheep?" bibirku mendesiskan karakter kartun yang memang lagi tren gara-gara penayangannya di stasiun TV swasta belakangan ini.
"Iya. Siapa pun akan gemas melihatnya. Tak hanya anak-anak, bahkan banyak remaja dan ibu-ibu yang berminat pada mainan begini. Bagaimana, Dar? Kalau kamu mau, Mamang pasrahkan semua ke kamu. Ada 2 karung. Keuntungannya lumayan kalau bisa laku semua."
Aku mengangguk segera. Ini memang bisnis bagus. Toh aku tidak mengeluarkan modal uang. Hanya harus berdagang keliling. Aku sudah pengalaman hal begini. Dulu, sebelum diajak Uda Men jualan pakaian bekas pakai di Pasar Senen, aku pernah jadi tukang asong minuman ringan naik-turun metromini keliling ibukota.
"Dengan senang hati, Mang...."
***
"Tidak, Bang. Dedek jangan dikasih lihat dulu. Abang jual dulu, kalau ada untung baru Dedek 'ntar Abang belikan."
"Abang yakin pasti laku, Nik. Tak apalah kita ambilkan satu buat Dedek. Bukankah Dedek sangat menginginkannya saat di depan klinik dulu?" Aku mencoba membujuk. Istriku bersikeras agar aku tidak memperlihatkan dagangan Mang Gugun dulu kepada Dedek. Padahal aku sangat ingin memberikannya satu saja untuk buah hati kami itu. Betapa aku masih terbayang kepenginnya Dedek akan boneka ini, ketika sedang periksa di klinik tempo hari.
"Ini amanah Mang Gugun. Abang harusnya bersyukur dipercaya oleh Mamang. Jangan dipersalahgunakan."
Aku menjumpai mimik sedemikian serius pada wajah istriku. Ah..., apanya yang dipersalahgunakan, sih? Apa iya hanya mengambil satu dagangan untuk anak sendiri saja sebagai sesuatu yang salah? Toh, keuntungan penjualan bisa dipotong nanti untuk membayar satu boneka yang untuk Dedek. Tapi aku bergeming. Tak kuasa membantah kata istriku. Kulihat Dedek yang tertidur kelelahan. Bayiku yang masa pertumbuhannya tidak mendapat zat gizi terbaik. Oh, Tuhan.
***
Besoknya, aku sudah berangkat menenteng karung ukuran sedang berisi boneka karakter kartun Shaun dkk. Tanganku kanan-kiri memegang boneka itu untuk menarik perhatian calon pembeli.
"Sayang anak... Silakan dipilih! Shaun the Sheep, Shaun the Sheep!" suaraku bergema saat memasuki pasar. Kulihat beberapa anak berkerumun bersama orangtuanya. Sasaran empuk, pikirku.
"Ma..., mau Shaun the Sheep, Ma...!" Seorang anak usia SD menarik lengan ibunya. Menunjuk ke arah daganganku.
Anak ini adalah penglarisku. Satu boneka Shaun the Sheep berhasil terjual. Alhamdulillah....
***
Sore mendadak mendung. Ah..., dagangan belum habis! Gerimis pula yang datang! Aku masih mencoba naik sebuah metromini yang berjalan pelan di perempatan. Menjajakan boneka menggemaskan ini. Alhamdulillah, seorang remaja putri tertarik dan membeli daganganku.
Turun dari metromini, rupanya gerimis makin menjadi. Aku lekas menepi. Berlindung di sebuah emperan toko yang tutup. Di pintunya tertempel tulisan 'DIJUAL TANPA PERANTARA'.
Ketika agak reda, aku merangsek rintiknya menembus jalan mencoba menjajakan lagi daganganku. Tak boleh putus asa. "Sayang anak... sayang anak!"
Kulihat kerumunan di sebuah emperan. Beberapa motor terparkir di depannya. Beberapa orang menggendong anak menghindarkan dari tampias gerimis.
"Sayang anak... sayang anak...," kutawarkan daganganku.
Seorang balita tertarik pada boneka yang kupegang. Lekas kudekatkan padanya. Kulirik lelaki yang menggendongnya. Pasti bapak si balita. "Sayang anak, Pak..., belikan bonekanya. Lucu-lucu... lagi laris-larisnya ini. Boneka lucu Shaun the Sheep...," kataku.
"Maaf, Pak, kami tidak minat beli. Maaf sekali, ya...," kataku si lelaki, berharap aku mengerti dan pergi.
"Belikan, Pak, anaknya suka, tuh...!" Aku masih mencoba membujuk. Tidak peduli ia sudah menolak.
"Tidak, Pak. Maaf, ya...!" katanya lagi. Ia mencoba menjauhkan pandangan si balita dariku.
Si balita berontak dan menangis. Tangisnya mendadak mengingatkanku pada Dedek! Kepalaku tiba-tiba terasa agak pening. Balita itu terbatuk-batuk. Terpingkal. Seperti Dedek waktu itu.... Tatapan sinis si lelaki adalah tatapan mata sinisku waktu itu.
Sudut mataku tertumbuk plakat di tembok bangunan. "Klinik Dokter Hari"
***
Selesai di Tlingsing, 4 Februari 2012
(Cerpen ini versi utuh yang saya kirim ke Ummi. Karena terbatasnya jatah halaman di Ummi, redaksi memangkasnya, sebagaimana yang tercetak di majalah Ummi edisi Oktober 2012)
Get notifications from this blog
Baguuuusss bgtttttttttt
BalasHapusMakasih sdh baca...
Hapus