Sudahkah Kita Meraih Gelar Takwa?
Sudah berapa kali kita menjumpai bulan Ramadhan? Tentu sudah sejumlah usia kita. Sudah berapa kali kita berpuasa Ramadhan selama ini? Tentu terhitung sejak kita sudah baligh, bukan?
Allah Ta'ala menyeru kepada orang-orang beriman agar melaksanakan ibadah puasa pada bulan Ramadhan, perintah mulia ini tercantum dalam QS. Al Baqarah (2) ayat 183:
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa."
Di dalam ayat tersebut, perintah puasa jelas-jelas memiliki tujuan utama yang tertulis di ujung ayat, yakni la'alakum tattaquun, agar kamu bertakwa.
Kalau kita hitung, sudah berkali-kali Ramadhan kita lalui, sudah berkali-kali pula kedatangannya kita sambut dengan pelaksanaan ibadah puasa, sebagaimana telah Allah Ta'ala perintahkan. Nah, marilah kita bertanya pada diri kita sendiri. Sudahkah tujuan puasa Ramadhan telah kita capai? Atau sejauh manakah kita bisa mengukur ketakwaan kita? Apakah kita sudah termasuk muttaqin? Atau justru puasa kita berakhir tanpa meninggalkan bekas ketakwaan pada diri kita? Oh, tidak, naudzubillah. Jangan sampai kita merugi.
Lantas dari mana kita bisa mengukur kadar ketakwaan kita? Bagaimanakah kiranya yang Allah Ta'ala maksudkan dengan muttaqin?
Allah sudah menyiapkan semacam kriteria bagi hamba-Nya, siapa saja gerangan yang termasuk muttaqin. Kita bisa mengoreksi diri sendiri, sudah masukkah kita pada kriteria tersebut?
Mari kita kaji, bukalah kitab suci kita, tepatnya pada QS. Ali Imran (3) ayat 134-135:
"(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui."
Sekilas membacanya, apakah sudah bisa kita lihat kriteria tersebut pada diri kita? Baiklah, kita jadikan poin-poin agar kita bisa lebih mudah memahaminya. Ini adalah lanjutan dari ayat 133 yang menyinggung tentang orang bertakwa. Dan dua ayat ini menegaskan yang dimaksud muttaqin, yakni:
1. Orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit.
2. Orang-orang yang menahan amarahnya.
3. Orang-orang yang memaafkan kesalahan orang lain.
4. Orang-orang yang bertaubat.
Pertama, orang yang berinfak di waktu lapang dan di waktu sempit. Saat ini, hampir merata, semua lini di negeri kita, sedang mengalami krisis luar biasa. Lihatlah para petani yang dilanda gagal panen, makin membuat terpuruk perekonomian nasional. Atau para pedagang yang juga mengeluhkan berkurangnya omzet tahun ini. Nah, bagi manusia-manusia Indonesia yang beriman pada Allah, ini bukanlah alasan untuk berhenti berderma, berinfak atas sekecil apapun nikmat rezeki yang diberikan Allah.
Seorang bertakwa adalah yang selalu menafkahkan sebagian rezeki, baik dalam waktu sedang bagus rezekinya, maupun saat paceklik seperti sekarang ini. Jangan sampai kita justru jadi orang kufur nikmat karena dilanda cobaan kesempitan rezeki.
Kedua, orang yang mampu menahan amarah adalah satu tanda manusia bertakwa. Mengapa menahan amarah? Iya, kita semua tahu, godaan terberat dalam hidup itu adalah godaan yang datang dari dalam diri sendiri. Bukankah amarah itu dari dalam diri kita? Nah, mampukah kita sebagai orang beriman untuk menundukkan rasa amarah tersebut? Kita sadar, marah itu dari setan. Setan adalah musuh paling nyata bagi kita. Makanya, Allah menempatkan orang yang bisa menahan amarah sebagai penanda ketakwaan. Masih suka umbar emosi? Hmm ..., tahanlah diri. Bergabunglah dengan para muttaqin, kawan!
Ketiga, orang yang mau memaafkan kesalahan orang lain. Dalam hidup sebagai makhluk sosial, kita tidak mungkin berlepas diri dari interaksi dengan orang lain. Adalah kewajaran jika terkadang terjadi silang sengketa ataupun salah paham. Sebagai manusia yang memang menjadi tempatnya salah dan alpa, maka sering kali kesalahan, baik sengaja maupun tidak, mewarnai hubungan sesama. Manusia bertakwa akan dengan mudah memaafkan kesalahan orang lain, terlebih kalau yang bersangkutan meminta maaf. Bahkan, sebelum meminta maaf pun, orang bertakwa sudah seharusnya memaafkannya.
Terakhir, orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu. Atau singkatnya, yang mau bertaubat atas segala kesalahan kita.
Demikian tanda yang bisa kita teliti pada diri kita, apakah gelar takwa itu sudah melekat menjadi pakaian luar-dalam kita? Mari bersama mengoreksi diri, sembari menyambut Syawal tiba, sebagai bulan pembuktian keberhasilan Ramadhan kita.
Semoga, Allah Ta'ala memudahkan kita dalam membentuk karakter diri menjadi manusia bertakwa. Marilah, kita berproses mejadi takwa, karena tidak ada ketakwaan instan tanpa proses pembentukan. Selamat menyambut Syawal dengan peningkatan.
Get notifications from this blog
Jangan lupa beri komentar, ya... Semoga jadi ajang silaturahim kita.